Sebagai jurnalis senior, instingnya mengalir untuk mencatat, merekam, dan menuangkannya menjadi esai-esai bernas, yang kemudian dibukukan. Dua tahun mendampingi Doni, sudah ratusan tulisan ditorehkan. Tiga buku sudah diterbitkan.
Dua buku terdahulu adalah Secangkir Kopi di Bawah Pohon dan Sepiring Sukun di Pinggir Kali. Kedua buku tadi di bawah satu tema (tagline) “Kiprah Doni Monardo Menjaga Alam”.
“Alhamdulillah, kedua buku itu bisa menjadi kado ulang tahun Pak Doni tahun 2020. Sedangkan, pada ultah tahun 2021, 10 Mei yang lalu, saya memberinya kado satu buku, yang merupakan buku ketiga yang saya tulis,” ujar Egy Massadiah.
Buku ketiga Egy tentang Doni berjudul “Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah”. Buku ketiga ini pula yang menjadi kado Egy di hari ulang tahun Doni Monardo, 10 Mei 2021 lalu.
Ia menyerahkannya usai acara tiup lilin, potong tumpeng, dan berbuka puasa bersama di Ruang Multy Media, lantai 10 Graha BNPB.
Penyerahan buku “Titik Nol Corona” tadi, seperti menandai launching buku. Segera setelahnya, buku ini sudah terpajang di beberapa situs belanja online, seperti Shopee dan Lazada. Selain, juga bisa dipesan melalui dua situs website: www.jagaalam.com dan www.kitajagaalam.id.
Buku ini adalah catatan intens Egy mendampingi jenderal bintang tiga itu berperang mengendalikan wabah Covid-19. Ada begitu banyak catatan menarik yang tidak saja memiliki nilai-nilai humanity, tetapi juga bernilai referensial.
Terlebih, buku ini mendapat kata sambutan yang menarik dari Menko PMK, Prof Muhadjir Effendy berjudul “Kisah Lapangan Mengatasi Pageblug”. Kesaksian Muhadjir Effendy mengendalikan Covid-19 bersama Doni Monardo, membekaskan kesan yang begitu mendalam.
Ribuan mil jarak telah ia tempuh bersama Doni Monardo dalam berbagai kegiatan kunjungan kerja mengatasi pageblug.
Muhadjir tak henti memuji ketangguhan fisik Doni Monardo, kepiawaian serta kemampuannya mengatasi berbagai rintangan dan tantangan di lapangan.
Buku berukuran B-5 itu tampil anggun sekaligus gagah dengan ketebalan 427 halaman full color. Selain sambutan Menko Muhadjir, pengantar penulis dan pengantar penerbit, buku ini berisikan 44 judul utama dan 12 judul turunan, sehingga keseluruhan menjadi 60 tulisan, ditambah galeri foto dan profil penulis.
Sebagai pembuka, Egy menempatkan tulisan berjudul “Kenangan Natuna Dua Jenderal” sebagai judul pertama.
Latar belakang tulisan ini adalah kunjungan KSAL Laksamana TNI Yudo Margono ke markas BNPB/Satgas Covid-19. Dalam kesempatan itu, Laksamana Yudo dan Letjen Doni terlibat pembicaraan menyusuri jalan kenangan di awal bulan Februari 2020.
Saat itu, keduanya terlibat kerjasama spartan dan solid melayani karantina 238 WNI asal Kota Wuhan, Ibukota Provinsi Hubei, China. Doni Monardo dalam kapasitas sebagai Kepala BNPB, sedangkan Laksamana Madya (saat itu) Yudo Margono sebagai Panglima Kogabwilhan 1.
Catatan itu sangat menarik, sebab, sebelum virus corona resmi masuk Indonesia 2 Maret 2020, keduanya sudah bersinggungan dengan karantina WNI yang datang dari Wuhan, kota tempat asal-mula virus corona bercokol.
Di Natuna, mereka –antara lain– harus berhadapan dengan demonstran yang menolak aktivitas karantina. Bahkan dalam kesempatan dialog terbuka, penulis berhasil menangkap momentum saat salah seorang pendemo hendak melemparkan asbak ke arah Doni Monardo (halaman 12). Sangat dramatis.
Bagi yang rindu sosok jubir corona, Achmad Yurianto, buku ini mengupas tuntas sosok yang satu ini. Penampilannya di televisi berbulan-bulan lamanya, sosok Yudi sempat menjadi sosok yang sangat lekat di benak pemirsa televisi Indonesia.
Ada sisi-sisi lain seorang Yuri yang baru terkuak di buku ini. Ditambah, hadirnya sosok cantik Reisa yang tak luput dari bidikan Egy Massadiah.
Ada pula potret sendu di balik momen bahagia ultah Doni Monardo 10 Mei 2020. Santi, sang istri, tergagap ketika harus menyampaikan sepatah-dua-patah-kata. Yang terucap hanya kalimat, “Rasanya mau menangis….”
Wajar jika perasaan Santi begitu campur-aduk. Antara bahagia bisa menjenguk suami yang tidur di kantor sambil merayakan ulang tahun bersama anak dan cucu, dan perasaan sedih karena merasa ada sekat yang memisahkan Doni dari keluarga.
Toh, Santi paham, ketika Doni meminta izin untuk sementara tidak pulang. Pandemi tidak kenal hari libur. Penyebaran wabah tidak kenal jam kerja. Pandemi adalah peristiwa luar biasa, yang tak bisa ditanggulangi dengan cara biasa. Karenanya ia harus stand by 24 jam di kantor.
Lika-liku peristiwa menarik selama mukim di kantor, dituangkan pula oleh penulis dalam judul “60 Hari di Markas”. Satu di antaranya peristiwa lucu “Ketika Ajudan Doni Mencari Dokter Tugas” (halaman 151).
Judul lain yang tak kalah menarik adalah “Dari ‘Dukun’ hingga ‘Orang Gila’”. Sungguh, cerita ini tidak pernah Anda temukan di media mana pun.
Dalam tulisan ini, penulis (Egy) bahkan terlibat langsung di dalamnya. Sebagai penulis, ia simpan rapat cerita-cerita itu, lalu disajikannya untuk Anda melalui buku terbitan PT Citra Jayakarta Nawa Astha dan Yayasan Kita Jaga Alam ini.
Pendek kalimat, jika harus merunut satu per satu tulisan dalam buku yang disunting oleh Roso Daras ini, tentu teramat panjang.
Sebab, setiap tulisan memang memiliki daya tarik tersendiri. Beberapa tulisan, bisa jadi bukan topik eksklusif, tetapi di buku “Titik Nol Corona”, pembaca akan mendapatkan angle yang berbeda, ditambah data dan fakta baru yang tak terungkap di tulisan mana pun sebelumnya.
Contoh, tulisan berjudul “Insiden Ekspor APD”. Tulisan ini memotret kelangkaan APD (Alat Pelindung Diri) pada awal-awal pandemi.
Menjadi eksklusif karena Egy melengkapinya dengan wawancara eksklusif bersama Marsekal Pertama (Marsma) TNI Jorry Soleman Koloay. Waasops TNI Marsma Jorry adalah salah satu tokoh penting di balik peristiwa yang dalam situasi normal, bisa diartikan sebagai “pembajakan APD”.
Selain topik human interest, buku ini juga memuat topik hard-news, yang dikemas dalam narasi gamblang. Topik yang dimaksud terkait dengan buntut kepulangan Habib Rizieq yang berbuntut panjang. Bahkan persidangannya pun sampai sekarang masih berlangsung.
Egy menuliskannya dalam judul “Geger 20.000 Masker”. Di sinilah penulis menguak peristiwa di balik berita. Tidak saja latar belakang, tetapi sekaligus memberi gambaran lengkap di semua fase: pra – saat kejadian – pasca kejadian.
Sebagai penutup, Egy menyajikan sebuah tulisan yang sangat inspiratif, “Memuliakan Makna Berbagi”. Inspirasi tulisan berangkat dari sebuah tayangan pendek Diyanet TV, sebuah stasiun televisi yang dikelola kantor urusan agama Pemerintah Turki.
Tersebutlah pemandangan di sebuah kedai roti di tepi jalan besar. Bagian depan digunakan untuk memajang roti khas Turki yang dinamakan ekmek. Tampak keranjang digantungkan di tiang kanan. Orang Turki belum berasa makan kalau belum menyantap ekmek.
Datanglah seorang pria membeli delapan potong ekmek. Tapi pembeli hanya mengambil empat. Empat lainnya diamanahkan kepada penjual untuk disedekahkan kepada yang memerlukan. Sang penjual lalu memisahkan empat ekmek amanah dan memasukkan ke keranjang gantung.
Tak lama, datang si “miskin” memohon sekerat-dua-kerat ekmek, yang barangkali ada bagian rezekinya di kedai itu. Penjual pun mengambil tas dan memasukkan empat potong ekmek, dan menyerahkan pada si miskin. Lalu, si “miskin” mengembalikan yang dua.
Benar. Ia hanya perlu dua potong ekmek yang berukuran besar itu. Dua lainnya, ia minta dimasukkan kembali ke keranjang gantung, yang mungkin saja akan sangat berarti bagi si lapar lain.
Tak lama setelah kedatangan si miskin, datang wanita membeli empat ekmek. Lagi-lagi, ia tampak mengeluarkan dua, dan mengamanahkan kepada penjual untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Dengan senyum ramah, si penjual mengangguk dan memasukkan sedekah dua potong ekmek ke dalam keranjang gantung.
Sebuah pelajaran budi pekerti yang sangat agung. Si kaya tidak kikir, si miskin tidak tamak, dan si penjual tidak khianat.
Begitu menyentuh tayangan tadi, membuat Egy mencari tahu tradisi apa gerangan yang tampaknya begitu membudaya di kehidupan sehari-hari masyarakat Turki. Diketahuilah, film pendek tadi adalah potret tradisi “askida ekmek”.
Tradisi yang sudah ada sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah atau yang dikenal era Kekaisaran Ottoman (abad XII). Penulis menyelipkan harap, tradisi “askida ekmek” dilakukan di gerai-gerai waralaba yang menjamur di tanah air, di warteg-warteg, di restoran-restoran padang, di kedai-kedai kopi……
Last but not least, belum lengkap catatan ini kalau tidak menyoroti cover buku “Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah”. Foto Doni Monardo sedang menengadahkan kedua tangan, sikap berdoa, seolah berdoa kepada Tuhan agar memberinya pertolongan membebaskan bangsanya dari wabah corona.
Jika Anda perhatikan, sisi menarik justru bukan pada posisi kedua tangan Doni Monardo (sekalipun secara maknawi, itu jelas lebih bermakna). Lihatlah rambuat Doni Monardo yang mulai menipis. Sebagian kulit kepalanya tampak jelas, sebagai pertanda ia mengalami kerontokan rambut yang dahsyat.
Sangat kontekstual dengan masa-masa under-pressure bergelut dengan wabah Covid-19. Tentu beda jika kita sandingkan dengan foto terbaru Doni Monardo. Rambut Doni seperti pulih dari kerontokan, mulai tebal dan terhindar dari kebotakan.
Maknanya, Doni Monardo telah berhasil mengendalikan kerontokan rambut. Semoga, sukses yang sama dalam mengendalikan pandemi Covid-19. (*)
*) Sumarno, Jurnalis Senior, Staf Puskamnas Universitas Bhayangkara Jaya