Beritaenam.com, Yogyakarta – Minggu (10/9) pagi, lewat penerbangan tanpa delay, saya akhirnya kembali berada di bandara internasional Adi Sutjipto dan menjejakan kaki di tanah Yogyakarta. Karena jarum jam masih menunjukkan pukul 08.00WIB, masih pagi memang. Pilihannya untuk menyambangi pasar Prawirotaman yang masih punya magnet kuat warganya, bahkan tak terkecuali wisnu (wisatawan nusantara) maupun wisman (wisatawan mancanegara) berkunjung pasar tradisional ini.
Oleh kantor, bagiku dibelikan tiket first flight dari Jakarta pukul 05.30WIB untuk tujuan ke Yogyakarta menjadikan karunia tersendiri. Sebab dengan begini, saya bisa merasakan geliat manusia maupun atmosphere pasar Prawirotama.
Seperti biasa berkunjung ke suatu daerah menjadikan kuliner masuk dalam urutan pertamaku. Blusukan di pasar Prawirotaman demi bisa icip-icip makanan tradisional tidaklah sulit utuk mendapatkannya. Kalaupun saya saat blusukan sedikit menemui kesulitan, lebih karena lupa keberadaan lapak Mbah Pariyem menjajakan panganan tradisionalnya.
Akhirnya rasa kangenku terbayarkan karena bisa bertemu dengan Mbah Pariyem dan juga aneka jajanan tradisional, seperti; thiwul, gethuk kimpul, gatot, cenil, wajik, dan lainnya. “Inilah makanan khas kampung yang sampai sekarang sulit untuk saya lupakan,” gumanku sambil tangan kanannya mencomot thiwul.
Oh iya, Mbah Pariyem sudah puluhan tahun berjualan makanan tradisional di pasar Prawirotaman. Meskipun tak jauh dari pasar Prawirotaman marak dengan menu makanan moderen sejenis fried chicken. Mbak Pariyem adalah penjaga tradisi makanan kampung. Bahkan dalam cara menjajakan dagangannya kepada setiap pengunjung yang mampir di lapaknya, Mbah Pariyem sambil menyapa dengan ramah menawari calon pembelinya untuk mencoba tester, sebelum memutuskan untuk membeli.
Makanan terbilang murmer alias murah meriah, Mbah Pariyem cukup menawarkan dengan harga 4000 rupiah per pincuk (bungkus), paket menu campur campur. Kali ini, membeli 2 pincuk paket campur-campur, untuk saya nikamati sambil nyeruput kopi di pagi hari.
“Kalo sudah begini, menikmati breakfast-nya Mbah Pariyem koq jadi terasa kayak hidup di abad ke-19 ya? Benar-benar peunak tenan,” kataku.
Bicara tentang Prawirotaman, sejarahnya dahulu ada seorang bangsawan keraton – Prawirotomo namanya menerima hadiah dari Keraton Yogyakarta berupa sepetak tanah yang akhirnya populis dengan nama Prawirotaman. Sementara memasuki abad ke-19 Prawirotomo berbisnis batik cap, namun memasuki tahun 70-an usaha batik cap mulai meredup, maka pilihannya membuka rumah penginapan yang dikelola oleh keturunan Prawirotomo, sebut saja; Mangunprawiro, Suroprawiro dan Werdoyoprawiro merupakan tiga keluarga besar keturunan Prawirotomo.
Believe or not, semenjak tahun 70-an nama Jalan Prawirotaman sudah tercatat dalam buku atau peta turis, sebagai kampung bule, selain Jalan Dagen atau Jalan Sosrowijaya, di kawasan Malioboro, Yogyakarta. (Agi Sugianto).