beritaenam.com, Jakarta – Untuk terus menjaga kesenian tradisi agar tidak tergerus zaman, tentu butuh inovasi dalam hal pementasannya. Agar anak muda jaman Milenial bisa memahami dan makin mencintai budaya sendiri yang terkenal adiluhung.
Selain itu ingin menunjukan kalau kondisi kesenian tradisional tidak bagai ’kerakap tumbuh di batu; hidup segan mati tak mau’. Kesenian tradisional jarang dipentaskan. Tidak ada regenerasi dan terancam punah. Para pelaku seninya sebagian uzur dan meninggal dunia.
Namun bagi Sanggar Swargaloka yang peduli, kesenian tradisional tetap hidup dan berkembang searah zaman.
Pentas Drama Wayang (Drayang) bertajuk “Sang Penjaga Hati” setidaknya memberi kesaksian bagaimana kesenian tradisional mampu diolah secara kontemporer menjadi seni masa dalam ekspresi intrinsik dan ekstrinsiknya yang mencerminkan wajah kekinian.
Sanggar Swargaloka semakin memperlihatkan kematangannya berpentas, melalui sebuah pertunjukan bertajuk “Sang Penjaga Hati” yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Senin (17/06/2019).
Tiga disiplin seni (tari, musik, teater) secara tematis tampil tanpa sekat mengguratkan arah pesan moralistik. Menghentak dan menggetarkan jiwa lebih dari 700 penonton yang memadati Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Tampak sejumlah seniman, budayawan dan beberapa mantan birokrat ikut menyaksikan pertunjukan ini, antara lain; Romo F.X. Mudji Sutrisno, Muhamad Sobari, Deddy Mizwar, Tarzan, Nungki Kusumastuti, Ir. H. Erman Soeparno, MBA MSi (politikus, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI), Eny Sulistyowati (Triardhika Production), serta beberapa pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Satu Kesatuan Tradisi dan Non-Tradisi
Dari berbagai elemen estetika panggung, “Sang Penjaga Hati” berhasil mengolah bentuk dan ruang artistik pertunjukan, melalui lakon wayang sebagai basis penciptaan karya. Tim kesenian ini berhasil membuat lintasan tradisi dan non tradisi menjadi satu kesatuan yang utuh dalam dialektika kreatif.
Dari segi Directing (penyutradaraan), keaktoran, rancangan tari (koreografi), tata panggung; pencahayaan, dan properti, serta penciptaan karakter melalui tata kostum yang terukur – berhasil mengantarkan pertunjukan ini mencapai kualitas karya monumental (26 tahun Sanggar Swargaloka berkarya).
“Sang Penjaga Hati” diproduksi Sanggar Swargaloka Jakarta. Disutradarai Bathara Saverigadi Dewandoro, yang juga bertindak sebagai coreografer, serta menjadi rule of story /tokoh utama lakon, berperan sebagai Narasoma.
Karya ini diperkuat para aktor-aktris panggung didekatif, yang cukup lama berperan dalam khasanah seni Wayang Orang, antara lain; Agus Prasetyo (Salya), Ali Marsudi (Puntadewa), Achmad Dipoyono (Bagaspati), dan Dewi Sulastri (Setyawati). Didukung ratusan seniman muda berbasis seni tradisi yang tergabung di Sanggar Swargaloka Jakarta.
Karya ini juga didukung kepiawaian komposer muda Gregoriyanto Kris Mahendra, sebagai Penata Musik. Keunikan instrumen musik yang digunakan (tradisi dan modern) berhasil mendinamisir dan membangun imaji penonton untuk larut ke dalam pesan yang ingin disampaikan.
Sanggar Swargaloka berhasil mengantarkan “Sang Penjaga Hati” menjadi sebuah seni pertunjukan multimedia (visual art, tari, music, dan sastra) kaya tafsir.
Sukses memberi ruang edukasi bagi anak-anak muda yang terlibat dalam proses, ikut mengapresiasi dan semakin memahami budaya Indonesia, melalui bentuk seni pertunjukan yang menghibur, dan atraktif.
“Drama Wayang akan terus berevolusi untuk menemukan format yang tepat agar layak mendapat predikat opera terbaik dunia. Oleh karena itu, kami memerlukan kritik dan saran agar kami terus termotivasi menjadi lebih baik,” terang Pendiri Yayasan Swargaloka, Suryandoro, di mana pergelaran ini menjadi kado istimewa peringatan Ulang Tahun Ke-53, bagi seniman serba bisa ini.
Satu hal menjadi minus pertunjukan ini adalah sistem audio kerap ‘putus-nyambung,’ kemudian mengganggu emosi aktor dan aktris serta merusak artikulasi dialog yang kurang tersimak. Namun secara umum pertunjukan ini berhasil menghipnotis penonton.
Sinopsis
“Sang Penjaga Hati” berkisah tetang sang penjaga hati, _ Dewi Setyawati_ menemani kemanapun kekasih hatinya _ Narasoma_ mencari kesejatian hidup. Karena cinta pula Setyawati harus terpisah selamanya dengan Bagaspati, ayahnya. Karena cinta pula Narasoma merelakan Dewi Madrim adik semata wayangnya harus terpisah dengannya, dan melepaskan ke tangan Pandu.
Pengorbanan mendalam adalah ketika _ Narasoma_ harus meninggalkan _ Dewi Setyawati_ ke medan laga. Perang bharatayuda telah memanggil ksatria Mandaraka yang sudah tidak muda itu turun ke gelanggang payudan demi Pandawa. Semua ini dilakukannya demi cinta untuk sang penjaga hati. (Buyil)