Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Sekarang, kita hidup pada era yang sangat fantastis, bukan evolusi, melainkan disrupsi. Hanya ambiguitas, ketidakjelasan, dan perubahanlah yang pasti.
Kita yang bertanggung jawab mengambil kesempatan menggambar masa depan yang berbeda dengan masa lalu.
Kita sudah memiliki pandangan luas mengenai keadaan lingkungan, alam maupun perkembangan teknologi. Apa yang kita harapkan pada masa mendatang, bagaimana kita berusaha mewujudkannya?
Seorang atasan perlu menyambut tantangan ini dengan meningkatkan kapasitasnya dalam menghadapi VUCA yang semakin kental.
Kita tidak bisa mengandalkan pendekatan-pendekatan tradisional yang terbukti tidak mempan lagi.
Dari hasil penelitian terhadap pemimpin-pemimpin sekarang ini, hanya 18 persen dari mereka yang sudah memimpin dalam kerangka berpikir volatile, uncertain, complex, dan ambiguous.
Jadi, apa yang harus kita garap pada tahun 2021?
Tren 2021
Ketika ada disrupsi, di situ ada kesempatan. Bahkan, ketika terjadi kejatuhan sekalipun, kesempatan untuk berbelok arah juga tetap ada.
Saat ini, kita semua berada dalam sistem global yang saling berhubungan dengan sumber daya yang tidak terbatas.
Disrupsi terjadi dalam keseharian kita. Perubahan cuaca dan virus juga terus menerus terjadi.
Baru kita sedikit ditenangkan dengan vaksin yang sudah mulai disebarluaskan, muncul berita mengenai mutasi virus jenis baru lagi.
Sebagai pemimpin, kita patut menyadari betapa ketidakseimbangan dan perubahan ini berdampak pada finansial perusahaan kita.
Gonjang ganjing ekonomi dan operasi perusahaan ini berdampak pada trust, yang dirasakan hampir semua pihak.
Apakah itu atasan terhadap bawahan, bawahan terhadap atasan, atau bahkan pelanggan terhadap perusahaan yang sering tidak hadir ketika dibutuhkan. Terjadi semacam erosi kepercayaan.
Hal yang juga sangat jelas terlihat adalah kecepatan. Saat ini, semua orang memiliki paham lain mengenai waktu. Semua kiriman harus datang same day, semua data harus terlihat real time.
Servis pun diharapkan untuk bisa diselesaikan dengan lebih cepat. Penundaan tidak ditoleransi lagi. Dunia memang seolah berputar lebih cepat.
Tuntutan karyawan untuk bebas bekerja dari mana saja semakin lama semakin meningkat.
Para pemimpinlah yang sekarang tertantang untuk meningkatkan kemampuan, bahkan menambah dan mengganti kapasitasnya agar dapat menanggapi perkembangan yang pesat dan tak terduga ini. Personal agility-nya dituntut dalam setiap aspek kehidupan personal maupun profesional.
Perkembangan drastis
Merujuk pada penelitian yang mengatakan kurang dari 18 persen pemimpin yang memiliki kualitas pemikiran memadai untuk menyikapi keadaan VUCA, berarti sebagian besar dari mereka masih bertahan pada pendekatan-pendekatan tradisional pradisrupsi.
Bila tidak berhati-hati, hal ini bisa saja diteruskan oleh para suksesornya yang mereka juga menjadi kurang peka terhadap tuntutan lain yang berkembang di luar.
Julie Chesley, Hannah Jones, dan Terri Egan, dalam studinya mengenai pemimpin zaman sekarang menyatakan, gaya neuroleadership yang mendalami pemahaman mengenai kerja otak, pikiran, dan tubuh merupakan pendekatan yang lebih tepat dalam menghadapi tantangan-tantangan ini.
Berbeda dengan perkembangan evolusioner yang mengembangkan kompetensi-kompetensi yang sudah kita miliki, pendekatan neuroleadership ini mengubah cara pikir dan bertingkah laku kita.
Para ahli ini mengatakan, pemimpin sekarang perlu berfokus pada SPINE: perkembangan spiritual, physical, intellectual, intuition, dan emotion sekaligus.
Di sini, pemimpin VUCA ini perlu menjaga semangatnya sendiri agar tidak pernah kendur. Ia perlu tampil di depan para bawahan dengan kesegaran yang bisa ditularkan. Mereka perlu bersikap sangat fleksibel.
Tuntutan bekerja dari rumah ini benar-benar menantang para pemimpin untuk mampu mengatur waktu, energi, dan fokus sesuai dengan keadaan lapangan.
Mengubah paradigma kompetensi kepemimpinan
Selama ini, kita semua sepakat, komunikasi sangatlah penting. Namun, sekarang kita melihat, komunikasi saja tidak cukup bila tidak diwarnai oleh empati.
Kita tidak cukup hanya peduli terhadap hal-hal yang terjadi di seputar pekerjaan, tetapi juga perlu memperhatikan setiap bawahan secara pribadi.
Kita perlu menyadari, kita bekerja dengan manusia, bukan robot. Kita juga perlu mengubah cara pandang kita melihat bawahan dan anggota tim kita.
Kalau dulu kita bisa beranggapan, mereka bekerja untuk kita, sekarang, kita perlu membalik persepsi, kitalah yang bekerja untuk mereka dan melayani mereka.
Bila dulu emotional intelligence sudah kita anggap cukup, sekarang seorang pemimpin tangguh harus juga dapat memanfaatkan emotional agility-nya.
Bila awareness dan kontrol diri para pemimpin dulu dianggap sasaran penguasaan emosional, saat sekarang, para pemimpin harus gesit dalam memahami intensi tindakan orang lain, serta dampak seperti apa yang diharapkan mereka.
Intensi dan dampak ini haruslah jelas sehingga pemimpin bisa mengarahkan dirinya sesuai dengan keadaan sosial emosional yang dihadapinya.
Bersamaan dengan situasi ini pemimpin juga perlu menunjukkan respek pada setiap orang yang ditemuinya, termasuk bawahan sekalipun.
Pemimpin otoriter yang zaman dulu dapat diterima dan masih bisa dimaafkan, sekarang terlihat sangat kuno.
Bila dulu pemimpin berfokus pada efisiensi dan manajemen waktu, saat sekarang segala sesuatu juga perlu dikaitkan dengan konteks keberadaannya serta big picture visi misi yang ingin dicapai.
Pada saat bekerja jarak jauh ini, kita tidak bisa menerapkan apa yang biasa kita lakukan di kantor langsung pada kegiatan work from home.
Konteks kita sudah berubah, karenanya desain manajemen kerja perlu diatur sesuai dengan keadaan spiritual, fisik, intelektual, intuisi, dan emosi seluruh manusia yang berada dalam organisasi.
Tidaklah cukup bila pemimpin hanya memberikan sasaran saja tanpa gambaran yang jelas mengapa dan bagaimana kita dapat mencapainya bersama-sama.
Get your team on board with your vision — don’t force it.
EXPERD | HR Consultant/ Konsultan SDM