Jakarta – Pemerintah harus membenahi tata kelola produksi timah, terutama meningkatkan pengawasan untuk meminimalkan praktik ilegal mining yang terjadi di daerah penghasil timah, seperti di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Hal tersebut disampaikan ekonom Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi. Menurutnya, hal itu merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk mendongrak harga timah selain mendorong tumbuhnya sektor industri hilir.
“Selama ini lemahnya pengawasan menjadi kendala utama dalam memberantas praktik ilegal mining,” ungkap Acu yang dihubungi melalui telepon, kemarin. Akibatnya, banyak timah asal Indonesia yang diselundupkan ke negara lain, seperti Singapura.
Ia juga menjelaskan, masyarakat yang menambang timah atau kerap disebut tambang inkonvensional lebih senang menjual timah kepada para kolektor (pengepul) ketimbang kepada PT Timah. Padahal mereka menambang di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT Timah. Hal tersebut terjadi selain karena lemahnya pengawasan, juga akibat tingginya perbedaan harga yang ditawarkan pengepul ketimbang PT Timah yang ujungnya menyuburkan praktik ilegal mining.
Pendapat Acu tersebut selaras dengan data United Nations Comtrade (UN Comtrade) tahun 2014 yang mengungkapkan adanya ketidak jelasan ekspor timah Indonesia ke Singapura sebesar US$ 562 juta karena dari ekspor timah Indonesia ke Singapura sebesar US$ 1,2 miliar, namun yang tercatat di Singapura hanya sebesar US$ 638 juta (Kementerian ESDM 2016).
Untuk meminimalkan praktik ilegal mining, pemerintah telah melakukan berbagai upaya misalnya memperketat regulasi ekspor timah. Agar bisa diekspor, timah milik sebuah perusahaan harus lolos verifikasi dari surveyor dan memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disusun oleh Competent Person Indonesia (CPI) yang telah disetujui oleh pemerintah, hal tersebut untuk memastikan timah yang akan diekspor jelas asal usulnya.
Dalam pandangan Acu, memperketat regulasi ekspor tidak cukup untuk memberantas praktik ilegal mining, tanpa adanya pengawasan yang memadai.
Mencuatnya kasus pencabutan sementara kewenangan surveyor Indonesia sebagai lembaga yang bertugas memverifikasi asal usul barang sebelum diekspor oleh BKDI/ICDX melalui surat edaran bersama pada 16 Oktober 2018 karena diduga meloloskan timah ilegal kian menegaskan pendapat Acu mengenai perlunya pengawasan dalam pelaksanaan sebuah kebijakan.
Di sisi lain, untuk memperbaiki tata niaga timah pemerintah telah membentuk dua bursa timah yaitu BKDI/ICDX yang berdiri pada tahun 2013 dan JFX pada tahun 2018. Tujuannya selain menjaga stabilitas harga juga agar Indonesia sebagai salah satu penghasil timah terbesar di dunia bisa menjadi penentu harga timah.
Acu menilai tidak ada masalah dengan pembentukan dua bursa timah tersebut karena bisa mendorong tingkat efisiensi masing-masing bursa dan menurutnya tidak memicu trend pelemahan harga timah.
“Tidak masalah ada dua bursa, secara teori akan menciptakan persaingan sempurna, sekaligus mencegah praktik monpoli, “ tegas Acu.(SUR)