Beritaenam.com — Persepsi mengenai menjadi petani adalah sosok yang miskin tak sepenuhnya terjadi. Seorang yang berpakaian berlumur tanah, kulit bermasker lumpur, rambut bau matahari, dan tubuh berpeluh.
Saat ini, citra petani yang lusuh dan kotor hingga muram sudah tergeser dengan banyaknya investor yang sengaja mempekerjakan petani dan melengkapi alat canggih. Banyak yang karena pandemi, berinvestasi ke pertanian cerdas.
Tidak langsung menjadi petani memanfaatkan IoT (perangkat berjaringan). Menyemprot tanaman, penyiraman, pemupukan, bahkan panen dilakukan oleh robot.
Pengolahan tanah bukan lagi dengan bajak dan hewan, tetapi traktor virtual yang bisa dikendalikan dari jarak jauh. Yang pasti, banyak petani sudah melewati masa suram. Hidup petani sudah layak seperti profesi lain.
Seperti yang dilakukan oleh Ketua Kelompok Tani Cibodas, Asep dari Desa Kutawaringin, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur yang bertanam jahe off season. Kabupaten Cianjur memang merupakan salah satu sentra jahe nasional terbesar kedua di Provinsi Jawa Barat.
Asep menilai, harga bagus ini karena belum banyak petani yang menanam sedangkan permintaan jahe terus naik.
“Saat ini petani bisa mendapatkan harga bagus, Rp 14 ribu per kg untuk jahe gajah dan Rp 17 ribu per kg untuk emprit dan merah. Perkiraan biaya produksi Rp 6 ribu per kg dengan produktivitas rata – rata Rp 20 ton per hektare,” beber Asep.
Diakuinya, untuk menanam jahe off season perlu diperhatikan ketersediaan air pada awal tanam karena penanaman dilakukan pada bulan Maret – Juli, di mana belum datang musim hujan.
Sementara itu, kata Asep, petani pada umumnya menanam pada awal musim hujan yaitu sekitar awal bulan Okober – November.
Dengan waktu tanam sampai panen sekitar sembilan bulan, Asep menyiasati tanam tumpang sari dengan tanaman cabai dan jagung manis yang umur panennya lebih pendek, sehingga tetap ada pendapatan bertani.
Untuk memenuhi permintaan pasar yang beragam, Asep dan kelompoknya menanam tiga jenis jahe yakni jahe gajah, emprit dan merah. Kebutuhan di dalam negeri seperti untuk bumbu atau minuman menggunakan jahe gajah dan emprit.
“Jahe merah dan jahe emprit banyak dimanfaatkan untuk bahan baku jamu dan obat, sedangkan jahe yang diekspor adalah jenis jahe gajah,” ujar Asep.
Selain memasarkan jahenya ke Pasar Tanah Tinggi dan Pasar Kramat Jati, Asep juga menjual jahenya ke pengumpul bahan baku industri jamu yang terletak di Kecamatan Mande dan pasar lokal lainnya.
Peluang bertanam jahe itu di kala tingginya permintaan benih jahe merah tersebut tentu bisa meraup keuntungan cukup besar selama masa pandemi COVID-19. Kebanyakan masyarakat yang membeli benih jahe merah, kata dia, untuk ditanam di ladang dengan masa panen selama sembilan bulan.
Bahkan, lanjutnya, permintaan jahe itu bisa mencapai 3.000 sampai 4.000 per pekan dengan harga Rp1.000/batang. Jika benih jahe habis, ia terpaksa mencari dari penangkar yang lain.
“Kami merasa kewalahan tingginya permintaan benih jahe itu setelah dipasarkan melalui aplikasi marketplace,” katanya.
Ia mengembangkan penangkaran pembenihan jahe setelah empat tahun lalu terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Tangerang, sehingga mencoba membuka usaha penangkaran benih jahe, karena melihat sekitar tetangganya itu kebanyakan berprofesi petani.
Potensi usaha penangkaran itu terbukti, kata dia, banyak permintaan dari masyarakat sekitar hingga Serang dan Bogor.
Pembenihan jahe itu, kata dia, bisa dijual setelah berusia enam sampai delapan bulan dengan ketinggian batang 30 sentimeter.
“Kami sebelum pandemi COVID-19 paling bantar bisa meraup keuntungan 50 persen dari pendapatan Rp5 juta/bulan,” katanya.
Begitu juga penangkar pembenihan jahe lainnya, Arya (45) warga Karanganyar, Kabupaten Lebak, mengatakan selama pandemi COVID-19 permintaan benih jahe meningkat.
Biasanya, lanjut dia, permintaan benih jahe merah sekitar 5.000 batang, namun ditengah pandemi COVID-19 bisa mencapai 15.000 batang/bulan.
“Kami memperkirakan selama pandemi COVID-19 bisa meraup keuntungan 65 persen dari pendapatan Rp15 juta/bulan,” katanya.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Lebak Rahmat Yuniar mengatakan para penangkar benih jahe di wilayahnya cukup berkembang sehubungan permintaan pasar cenderung meningkat.
“Kami mendorong para penangkar benih jahe itu dapat mengembangkan usahanya sehingga mendorong pendapatan ekonomi keluarga,” katanya.
Sejumlah penangkar pembenihan jahe merah di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, meraup keuntungan di tengah pandemi COVID-19, karena banyak permintaan dari masyarakat.