Ada pemandangan yang tidak biasa di ruang rias.
Para penari merias dan mematut-matut diri saling berjauhan. Bukan hanya itu, bahkan bedak dan lipstick perias wajah pun tidak saling berbagi.
Rupanya, pemandangan itu yang kemudian menjadi catatan penting bagi proses bangsa ini memasuki adaptasi kebiasaan baru di era pandemi Covid-19.
Ini kejadian 24 Juni 2020. Harinya hari Jumat. Hari penuh berkah, yang menandai langkah penting dan kemudian bergulir serta menggema di seantero bumi Indonesia.
Di hari yang sama, sebelumnya, pada pagi hari, Ketua Gugus Tugas Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo mendampingi Presiden Joko Widodo ke Surabaya, meninjau Posko Covid-19.
Presiden juga didampingi Menko PMK Muhadjir Effendy, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono.
Selesai acara di Surabaya, rombongan Presiden melanjutkan kunjungan ke Banyuwangi. Di sana, ia blusukan ke pasar dan melihat objek wisata pantai.
Usai seluruh rangkaian acara, rombongan Jokowi kembali ke Ibukota menggunakan Pesawat Kepresidenan.
Sementara, Letjen TNI Doni Monardo tinggal untuk menginap satu malam di Banyuwangi.
Misi yang digendong “Panglima Perang” melawan Covid-19 adalah memulihkan aspek ekonomi bangsa yang dimulai dari sektor pariwisata. Tak boleh terpapar covid dan saat yang sama tak boleh terkapar PHK.
Banyuwangi, kota dengan julukan “Sunrise of Java” itu mengukuhkan diri sebagai daerah paling siap. Bupati Abdullah Azwar Anas yang selama ini dikenal penuh inovasi, kali ini pun menunjukkan kebijakannya yang one step ahead
Rangkaian tari Pitik-pitikan dan Barong Kemiren adalah dua jenis tari di antara sekian banyak tari dan seni tradisi yang berkembang di Bumi Blambangan.
Pertunjukan itu kemudian dirangkai oleh Bupati Azwar Anas dalam paparannya sebagai “protap wisata”. “Setiap acara, selalu dibuka dengan seni tradisi,” ujar Bupati kepada Doni.
Bukan sekadar menari atau beratraksi seni. Mereka –sebagai ujung tombak—atraksi penarik turis, sudah beberapa pekan terakhir, di-drill tentang pentingnya menjalankan protokol kesehatan, jika tak ingin seni-tradisi mati suri karena dilarang manggung.
“Alat rias tidak lagi satu untuk beramai-ramai, melainkan satu untuk satu seniman. Demikian pula kostum, tidak lagi satu kostum dipakai berganti-ganti seniman. Masing-masing penari memiliki seperangkat kostumnya sendiri,” tambah Anas.
Maka Doni pun memuji Bupati Banyuwangi yang kreatif dan inovatif. Sebagai sebuah kodrat, bahwa manusia selalu mencari akal untuk keluar dari kesulitan, begitu pula yang dilakukan Azwar Anas terhadap kebijakan di daerahnya.
Bukan hanya itu. Saat Bupati Anas mengajak Doni –dan rombongan—mengunjungi sejumlah restoran, Doni kembali kagum.
Sebuah daerah di ujung timur Pulau Jawa, sudah sedemikian tinggi kesadaran menjalankan protokol kesehatan. Restoran-restoran itu baru diizinkan membuka kembali usahanya, ketika memenuhi syarat protokol kesehatan.
Jadilah, resto-resto di Banyuwangi –umumnya—sudah menyediakan tempat mencuci tangan lengkap dengan sabun. Sementara di dalam, meja-meja makan disekat dengan akrilik bening.
Setidaknya itu yang kami saksikan saat meneguk kopi Osing di warung milik Setiawan “Iwan” Subekti pemilik rumah adat Osing Sanggar Genjah Arum Desa Kemiren Banyuwangi.
Apa yang telah dilakukan di warung Osing Iwan sepatutnya menginspirasi para pelaku restoran dan pariwisata lainnya.
Para tamu yang hendak bersantap, tidak perlu repot-repot membuka-tutup masker. Sebab, dengan membuka masker pun mereka tetap bisa makan dan ngobrol tanpa khawatir saling menularkan virus.
Sebelum obyek-obyek wisata dioperasikan, semuanya lebih dulu dicek secara detail kesiapannya oleh tim yang dibentuk pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Kepada yang memenuhi syarat akan diberikan sertifikat. Secara periodik dinilai konsistensi pelaksanaannya. Bagi yang belum memenuhi syarat, belum akan diizinkan buka.
“Kepada yang melanggar langsung dicabut izin operasionalnya dan usahanya ditutup. Kami tidak mau mengambil risiko apalagi sampai ada yang terkena Covid-19,” tegas Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Berdendang hati Doni demi melihat Banyuwangi menggerakkan sektor ekonomi dari pariwisata dengan persiapan yang matang. Dari informasi yang dikantonginya, Doni pun memberikan saran kepada Bupati Azwar Anas terkait pemanfaatan TKI.
Tak kurang dari 144.000 TKI (pekerja migran) akan pulang ke Banyuwangi, akibat “krisis ekonomi akibat pandemi”. Mereka harus diprioritaskan bekerja di sektor pariwisata. Sebab, para TKI setidaknya memiliki skill bahasa asing tempat mereka bekerja.
“Dan yang lebih penting, mereka memiliki jiwa hospitality yang tinggi dan tahu cara melayani, cari mereka,” ujar Doni, yang direspon Azwar dengan sangat positif.
Doni menambahkan, dari 144.000 TKI itu, entah berapa persennya, pasti akan berkomunikasi kembali dengan bekas majikan atau relasinya di negara tempat mereka bekerja sebelumnya.
Saat komunikasi itulah, para TKI bisa menjadi ujung tombak marketing, untuk menarik orang asing datang ke Banyuwangi.
“Ini, ada pak Tommy (Suryo Pratomo), Dubes kita di Singapura. Tugas pak Tommy-lah bagaimana caranya ada penerbangan langsung dari Singapura ke Banyuwangi,” kata Doni terarah ke Tommy. Tommy tersenyum dan menukas, “Siap, Pak!”
Matahari pun tergelincir ke barat. Doni dan rombongan menuju Hotel El Royal tempat menginap. Mendadak, selepas maghrib Doni minta check out.
Bukan pulang ke Jakarta, tetapi memilih menginap di Pendopo Kabupaten Banyuwangi. Koorpspri Kolonel Budi Irawan dan Kepala Biro Umum Andi Eviana pun lincah segera membopong peralatan vicon ke pendopo bupati.
Doni dan beberapa staf pun pindah ke pendopo kabupaten yang klasik dan banyak pepohonan. Pendopo Kabupaten Banyuwangi mengingatkan Doni akan kunjungannya setahun lalu, tepatnya 13 Juli 2019. Pohon beringin tua yang ada di sana, sungguh memikat hati Doni.
Malam hari, agenda video conference pun digelar di halaman pendopo, didahului makan malam dengan menu khas Banyuwangi. Ada pecel-pitik, pindang koyong, dan lain sebagainya.
Doni tampak sumringah. Sekali waktu ia berkata, “Ini untuk pertama kalina sejak tiga bulan terakhir, v-con tidak di dalam ruang, tapi di ruang terbuka.”
Bupati Azwar Anas, sebagai tuan rumah, dipersialkan memberi paparan tentang langkah-langkah inovatifnya membuka sektor pariwisata.
Harapan Doni, pola Banyuwangi bisa ditiru oleh para peserta v-con lain yang terdiri atas sebagian besar bupat/walikota se-Indonesia, di samping para stakeholder lain.
Strategi promosi dari Kabupaten Banyuwangi adalah corporate strategy dimana pembuat dan penyusun strategi adalah manajemen puncak yang dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Pelaksanaan strategi promosi dilakukan dengan menggunakan bauran promosi (promotion mix) yang terdiri dari 4 saluran promosi yang dibaurkan.
Dengan menggunakan periklanan, promosi penjualan, pemasaran langsung, dan hubungan masyarakat yang dibaurkan menjadi sebuah strategi promosi telah mampu meningkatkan kunjungan wisatawan ke Banyuwangi.
Visi pariwisata Banyuwangi adalah “Mewujudkan Banyuwangi Sebagai Daerah Tujuan Wisata Nasional yang Berbasis Kebudayaan dan Potensi Alam Serta Lingkungan”.
Untuk mewujudkan misi tersebut, bupati tidak hanya membebankan kepada Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata. Semua SKPD diberi tambahan tugas pariwisata dalam program kerjanya.
Dinas Pertanian, misalnya, menyelipkan program pengembangan wisata agro. Dinas Pendidikan misalnya, memasukkan muatan pariwisata dalam kurikulum ekstranya.
Kominfo Kabupaten Banyuwangi, juga turut mengembangkan pariwisata di antara tupoksi yang diemban. Begitu pula Satker-satker yang lain. Terpadu. Terarah.
Saat Doni Monardo berbicara, ia tanpa ragu meminta para kepala daerah menyiapkan sektor pariwisata sebagai leading sektor memulihkan perekonomian di tengah pandemi.
Semua daerah, tanpa kecuali. Sebab, semua daerah di Indonesia pada dasarnya memiliki potensi alam yang sangat indah dan diminati tidak saja turis domestik, tetapi juga turis asing.
“Tidak perlu menunggu ada investor membangun hotel. Bagi daerah yang belum memiliki hotel berbintang, tidak perlu khawatir,” ujar Doni.
“Kembangkan homestay. Libatkan masyarakat. Bantu mereka menyiapkan satu-dua kamarnya untuk para turis dengan fasilitas yang hiegienis. Bantu masyarakat dengan merenovasi isi kamar dan toilet yang bersih. Turis asing yang penting bersih. Mereka, para turis asing itu senang hidup membaur dengan masyarakat lokal,” papar Doni.
Mantan Danjen Kopassus itu lantas mencontohkan daerah kawasan Lease, tepatnya di Nusalaut. Di sana tidak ada hotel. Pulaunya juga tidak besar, tapi sangat indah.
Sewaktu menjabat Pangdam XVI/Pattimura (2015-2017), Doni melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana para turis asing menikmati Nusalaut, dan menginap di rumah-rumah penduduk.
*Kejutan Anak Buah*
Begitulah, vicon berlangsung hingga larut. Pulaslah tidur meski hanya beberapa jam saja namun lelap. Pagi cerah, saat Doni keluar kamar dalam pakaian olahraga.
Ia pun jogging di sekitar pendopo yang asri. Doni ditemani Kolonel Lucky Avianto mantan Dan Grup 1 Kopassus Serang yang kini menjabat sebagai asissten di Kodam Kasuari Papua Barat.
Belum selesai tiga putaran, belasan prajurit berpakaian PDL mendatanginya. Doni sempat kaget. Tapi demi melihat semua memberi hormat padanya, maka Doni pun berhenti. Ia menatap satu per satu prajurit di depannya.
Sorot mata para prajurit, bukan sorot mata yang asing. Apalagi satu-dua prajurit seperti tak kuasa menahan rasa haru sekaligus gembira bisa menemui Doni, yang tak lain adalah bekas komandannya di Batalyon Infanteri (Yonif) 900/Raider, Singaraja – Bali.
Sebuah batalyon infanteri di bawah Kodam IX/Udayana yang sebelumnya bernama Yonif 741/Satya Bhakti Wirottama.
Benar. Doni pernah menjadi Danyonif 900/Raider antara tahun 1999 sampai tahun 2001. “Wah, kejutan nih,” kata Doni.
Kejutan yang menyenangkan. Karena, ternyata mereka masih ingat kesukaan Doni. Karenanya, mereka membawa serta kelapa muda spesial buat Doni Monardo. Mantan komandan yang mereka kenal sangat baik.
Doni lantas mengajak para prajurit itu duduk santai di pojok depan sebelah kiri pendopo. Kurang lebih satu jam, Doni bernostalgia masa-masa hidup di Pulau Dewata bersama mereka. Dari obrolan mereka, diketahui, Doni banyak meninggalkan kenangan harum.
Sebelum Doni menjabat, Batalyon itu nyaris tak pernah terdengar keberadaannya. Tapi di bawah kepemimpinan Doni, Batalyon itu menjadi terkenal. Dikenal karena prestasinya.
Doni cerita, waktu itu ada 40 orang prajurit yang memiliki kesamaptaan prima, terutama Samapta A, yakni lari pada jarak 3.200 – 3.450 meter. Jika mampu membukukan catatan waktu antara 12 – 13 menit, artinya prima.
“Benar sekali. Pak Doni waktu itu memberi kami insentif Rp 25.000 per prajurit bagi yang mampu mempertahankan Samapta A,” timpal seorang prajurit, mengenang.
Prajurit lain menimpali, “Berkat dorongan Bapak, batalyon kita juara terus setiap ada event olahraga.”
Di sela-sela obrolan penuh kenangan, Doni menyelipkan pesan, “Tolong bantu tertibkan masyarakat untuk mentaati protokol kesehatan yaaa….” Kompak mereka menjawab, “Siap!”
Doni malanjutkan, “Meskipun kamu tentara, tapi kalau melihat ada yang tidak pakai masker jangan dimarahi, tapi kasih dia masker.
Makanya, kalian harus bawa masker cadangan. Jadi, jangan marah-marah ke rakyat. Tentara harus dekat dengan rakyat. Kalian lahir dari rahim rakyat.”
Tak salah orang menjuluki Doni Monardo sebagai “jenderal yang humanis”.
#egymassadiah, #donimonardo
sumber: majalah Matra