beritaenam.com, Jakarta – Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Jenderal (Purn) Djoko Santoso, mengatakan Prabowo akan menyatakan mundur jika terdapat potensi kecurangan yang tak bisa dibendung. Apa kata KPU soal hal tersebut?
“Kami belum berkomentar tentang itu, tapi yang pasti segala sesuatu sudah diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017,” kata komisioner KPU Wahyu Setiawan di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin (14/1/2019).
Wahyu mengatakan terdapat hak dan kewajiban paslon yang harus dilakukan. Hal ini berlaku setelah paslon ditetapkan sebagai peserta pemilu.
“Jadi hak dan kewajiban paslon presiden dan wakil presiden setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu itu ada hak dan kewajiban,” kata Wahyu.
Dalam Undang-undang 7 tahun 2017 pasal 236 tentang pemilu menyatakan bakal pasangan calon dilarang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU. Selain itu, sanksi dari larangan tersebut juga tercantum dalam pasal 552.
Sebelumnya, Djoko Santoso memberi sedikit bocoran soal isi pidato ‘Indonesia Menang’ malam nanti. Prabowo, kata Djoko, akan menyatakan mundur jika potensi kecurangan tak bisa dihindari.
“Memang supaya tidak terkejut, barangkali, kalau tetap nanti disampaikan Prabowo Subianto, pernyataan terakhir Prabowo Subianto adalah kalau memang potensi kecurangan itu tidak bisa dihindarkan, Prabowo Subianto akan mengundurkan diri,” kata Djoko Santoso saat bertemu Gerakan Milineal Indonesia Malang Raya, Minggu (13/1/2019) kemarin.
Berikut aturan Undang-undang 7 tahun 2017 pasal 236, sedangkan sanksinya terdapat pada pasal 552, berikut isinya:
Pasal 236
(2) Salah seorang dari bakal Pasangan Calon atau bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf f dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon oleh KPU.
Pasal 552
(1) Setiap calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5O.OOO. 000. 000,00 (lima puluh miliar rupiah)