Beritaenam.com — Bukankah kini saatnya dunia mengembangkan sebuah narasi baru: Satu Bumi, Satu Homo Sapiens, Satu Spritualitas?
Narasi baru ini menjadi moral tertinggi dan moral universal yang menyatukan homo sapiens yang kini hidup dalam tembok pemisah di 195 negara, 4300 agama, dan 6500 kelompok bahasa?
Era Pandemik virus corona semakin membuka mata. Betapa relatifnya batas negara, perbedaan agama, dan keberagaman kultur.
Virus meledak di Wuhan, Cina. Sebulan kemudian, ia menyebar ke Eropa dan Amerika Serikat. Kesalahan pedagang hewan yang melahirkan virus corona di Cina menyebabkan kematian ribuan manusia lain, di Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Brazil hingga lebih dari 180 negara. (1)
Berbulan- bulan seluruh dunia tercekam. Dibukanya kembali toko dan sekolah di Selandia Baru setelah lock down sekian lama, memberi harapan juga kepada penduduk bahkan di New Delhi dan Jakarta. Muncul keriangan baru di banyak negara bahwa puncak pandemik bisa diatasi.
Sebaliknya juga terjadi. Kerusuhan era pandemik melanda di aneka kota Amerika Serikat. Toko dijarah. Mobil dibakar.
Itu menularkan kekhawatiran juga kepada aneka kota di Eropa dan Asia. Jangan jangan kerusuhan karena sulitnya ekonomi akan juga melanda kota kami.
Katakanlah nanti vaksin atas virus itu ditemukan di satu negara. Eforia segera melanda seluruh dunia, melampaui negara penemu. Mereka gembira karena pastilah vaksin segera beredar luas ke pelosok negara lain.
Dunia semakin menyatu. Internet of everything (IoE) menyatukan manusia, data, dan komunikasi secara real time. Tak pernah terjadi dalam durasi 200 ribu tahun usia homo sapiens, informasi beredar dari satu pojok bumi ke pojok bumi lain hanya dalam hitungan detik.
Perang meledak di Suriah. Lihatlah efeknya. Para pengungsi berdatangan ke aneka negara Eropa.(2) Facebook ditemukan di Amerika Serikat. Lihatlah pengaruhnya. Komunitas di Afrika hingga Asia semakin intens berkomunikasi secara virtual.
Hutan di Kalimantan makin gundul. Lingkungan di Amazon semakin buruk. Lihatlah hasilnya. Perubahan iklim dan global warming melanda kawasan Eropa dan Amerika Serikat.
Apalagi jika bom nuklir kekuatan meledak dimanapun. Nuklir yang dikuasai beberapa negara punya daya ledak memusnahkan sebagian besar bumi. Tak peduli negara mana saja menekan tombol, seluruh bumi berguncang.
Apapun agama kita. Dari manapun negara kita. Apapun kultur dan bahasa, etnik, gender, orientasi seksual, warna kulit. Semua terkena efek dari dunia yang semakin menyatu.
****
Di sini lain, identitas sosial manusia tak pernah juga terjadi seberagam saat ini. Keragaman yang ada kini jauh lebih tajam dan membelah.
Di tahun 1945, ketika PBB pertama kali dibangun, terdaftar hanya 50 negara. Di tahun 2020, jumlah wilayah berlipat menjadi 195 negara.
Di abad pertengahan, kita hanya mengenal beberapa agama yang mendunia. Kini keyakinan berkembang menjadi 4300 agama. (4). Kelompok bahasa juga semakin banyak berjumlah 6500 komunitas.
Dalam sejarah kita menyaksikan, perbedaan identitas sosial itu tak hanya melahirkan kekayaan peradaban. Namun tak jarang itu ikut memicu konflik dan perang berdarah.
Perang dunia melibatkan banyak negara. Perang dunia kedua terjadi di tahun 1939-1945, digerakkan oleh 30 negara. Masing masing negara mengerahkan total lebih dari 100 juta manusia untuk saling membunuh. Sebanyak 50 juta manusia mati. (5)
Perang agama tak kalah brutalnya. Sentimen atas nama Tuhan, atas nama kesucian, atas nama wahyu, ikut mengobarkan perang salib. Ini termasuk perang terlama, bahkan lebih lama dari dua perang dunia digabung menjadi satu.
Perang ini terjadi hampir seratus tahun 1096-1271. Ia melibatkan keyakinan yang kini menjadi dua agama terbesar manusia: Kristen dan Islam. Total korban perang salib ketika jumlah penduduk dunia masih sedikit adalah satu juta tujuh ratus ribu manusia mati. (6)
Tak hanya perang antar agama, perang antara satu agama yang berbeda paham tak kalah garangnya. Mengatas namakan Yesus yang sama dan Injil yang sama, meledak perang antara Katolik dan Protestan di banyak negara Eropa.
Perang berlangsung selama 30 tahun, mulai dari tahun 1618- hingga 1648. Sama sama mengatas namakan kemurnian kitab suci, 8 juta manusia terbunuh.
Itu terjadi pula di dunia Muslim. Atas nama Allah yang sama. Atas nama Nabi Muhammad yang sama. Atas nama kitab Suci Qur’an yang sama, konflik dan perang antara paham Sunni dan Syiah terjadi.
Perang sipil di Lebanon di tahun 1975-1990 ikut diwarnai oleh konflik Sunni dan Syiah, di samping oleh sebab lain. Sebanyak 120 ribu manusia mati. Sekitar sejuta penduduk mengungsi.
Perbedaan warna kulit walau berasal dari homo sapiens yang sama tak kalah ganas. Era perbudakan kulit putih atas kulit hitam menjadi salah satu warna paling kelam sejarah peradaban.
***
Kini peradaban sudah sampai di titik kematangannya. Teknologi mampu membuat 7 milyar homo sapiens dari 195 negara, yang meyakini 4300 agama, dan 6000 bahasa, berinteraksi secara sangat intens.
Prinsip hak asasi manusia membuat homo sapiens itu setara dan bebas memilih keyakinannya. Pandangan dan keyakinan tak bisa dipaksakan dan terus berevolusi.
Bukankah keberagaman tak tehindarkan? Bukankah lebih nyaman hidup damai berdampingan? Bukankah kita berada di satu bumi? Bukankah kita homo sapiens yang sama? Bukanlah persamaan kita jauh lebih dalam, lebih asli ketimbang aneka perbedaan kita?
Bukankah kini, saatnya bersama kita kembangkan narasi besar yang baru: Satu Bumi. Satu Homo Sapiens. Satu Spiritualitas?
***