Asri Hadi bersaksi, momen webinar “Granat” ini sebenarnya juga reuni dari aktivis dan jenderal, serta orang-orang peduli dengan masalah narkoba di bangsa kita.
Sekretaris Jenderal DPP GRANAT Brigjen Pol (Purn) Drs. H. Ashar Suryobroto, MSi yang juga panitia penyelenggara acara menjelaskan bahwa acara webinar ini akan menjadi sebuah paparan yang bermanfaat tentang kondisi terkini terkait alih fungsi lahan ganja di Aceh.
Beritaenam.com — Kalau pertanyaannya, sejauh mana pelaksanaan program Alternative Development di Provinsi Aceh. “Kita memang harus mendengar langsung dari sosok-sosok yang dihadirkan, dalam webinar yang dilakukan LSM Granat,” ujar Asri Hadi, salah seorang aktivis anti narkoba yang aktif sejak di jaman Bakolak Inpres 71 hingga sekarang.
Pengurus Konsorsium LSM Bersama itu menyebut fungsi ladang ganja di Aceh, dilakukan sejak jaman Komjen Pol Ahwil Lutan menjadi Kepala BNN pertama, yang saat itu masih bernama BKNN.
Ahwil Lutan, menurut Asri Hadi melihat permasalahan penanaman ganja di Aceh, bisa diselesaikan lewat Grand Design Alternative Development (GDAD).
Melobi pimpinan UNODC, kemudian selanjutnya berusaha menjadikan Pemprov, Pemda, serta dunia usaha dan komponen bangsa diajak melakukan sinergi.
Dalam kesaksian Asri Hadi, rekan jurnalis dan beberapa LSM sempat diajak Ahwil Lutan sebagai pimpinan project di Aceh, melihat langsung proyek yang direkomendasi UNODC di Thailand, untuk studi kelayakan ke Agrowisata di Doi Tung.
Asri Hadi yang sama-sama Ahwil Lutan mendirikan Majalah HealthNews (majalah yang direkomendasikan UNODC sebagai media agains drugs pertama dari Indonesia) bahkan mengirim jurnalisnya, untuk ikut meliput juga ke Golden Triangle, kawasan perbatasan Thailand, Myanmar, dan Laos, yang sempat populer sebagai jalur perdagangan opium pada tahun 1950-an.
Daerah perbatasan yang rawan konflik dan menjadi tempat pelarian para pengungsi dari Myanmar dan China. Merupakan jalur emas penjualan opium di masa lampau.
Dapatkah kesuksesan itu dinikmati oleh Provinsi Aceh, yang sangat terkenal akan kultivasi ganjanya itu?
Bisa kita dengarkan nara sumber Webinar, yang akan mengupas tuntas bagaimana upaya negara melakukan Program alih fungsi lahan ladang ganja menjadi lahan pertanian di Propinsi yang berjuluk Serambi Mekkah itu.
Acara ini diselenggarakan pada Kamis, 13 Agustus 2020 Pukul 10-13 WIB dengan Aplikasi Zoom Meeting.
Sekretaris Jenderal DPP GRANAT Brigjen Pol (Purn) Drs. H. Ashar Suryobroto, MSi yang juga panitia penyelenggara acara menjelaskan bahwa acara webinar ini akan menjadi sebuah paparan yang bermanfaat tentang kondisi terkini terkait alih fungsi lahan ganja di Aceh.
Acara ini akan dibuka Komjen Pol Pur Togar Sianipar MSi, Ketua Dewan Pembina DPP Granat dan Plh Ketua Umum DPP Granat sebagai Introduction Note.
Sedang para narasumber antara lain, Komjen Pol. (P) Drs. Ahwil Lutan, SH, MM, MBA. Beliau adalah Ketua Dewan Pakar DPP Granat. Ahwil juga Pimpinan Staf Ahli di BNN.
Kemudian Irjen Pol Drs Anjan Pramuka Putra SH M.Hum dari Deputi Pencegahan BNN. Jenderal Anjan lama berdinas di bidang reserse dan pernah menjabat Direktur Tindak Pidana Narkoba Mabes POLRI.
Kemudian akan tampil Brigjen Pol Drs Krisno Halomoan Siregar SIK. Lulusan Akpol 1991 ini adalah Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri yang selama ini bekerja keras menanggulangi peredaran Narkoba.
Sebagai moderator adalah Hj Erie Vitria Trisanty MA yang juga dari Dewan Pakar DPP Granat dan Dr Diah Ayu Permata Sari sosok dari Wakil Rektor Universitas Bhayangkara Jakarta.
Catatan Refensi Diskusi
Ganja telah menjadi akar masalah Narkotika, Kejahatan dan dampak sosial ekonomi dan kerusakan hutan di Indonesia.
Dampak produksi Ganja dan penyalahgunaannya secara multidimensi merugikan bangsa, baik secara fisik, psikis, sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan bangsa.
Kegagalan mencegah dan menghadang ganja dari Aceh untuk tidak menyebar ke seluruh Indonesia menyebabkan produksi dan penyalahgunaan Ganja marak di mana-mana.
Oleh karena itu, program Alternative Development (AD) adalah program yang didesain khusus untuk menurunkan dan mengganti tanaman Narkotika ke komoditi unggulan daerah.
Proyek AD di Aceh “melirik” Doi Tung Development Project, kawasan narkoba itu dirubah menjadi salah satu tempat wisata yang cukup terkenal di Thailand.
Terlepas dari sejarahnya yang menyeramkan, saat ini Golden Triangle menjadi destinasi yang wajib dikunjungi jika sedang liburan di Thailand.
Sama sekali tak terbayangkan bahwa 20 tahun yang lalu tempat itu sangatlah gersang dan kering. Bukit-bukit dan hutan gundul, kondisi jalanan yang sangat tidak memadai, rakyat yang miskin dan sebagian besar dari mereka hidup dari pertanian dan perdagangan opium.
Ada aliran Sungai Mekong. Tiga pojok Negara. Masyarakat yang tinggal di Golden Triangle tidak boleh sembarangan berkunjung, karena butuh surat izin.
Sensasi wisata diujung perbatasan utara Thailand. Kawasan yang menggabungkan bagian Laos, Myanmar dan Thailand yang berbatasan dengan profinsi Yunnan Tiongkok.
Pada waktu itu, di daerah itu memang bisa dikatakan tidak ada mata pencaharian yang layak. Para anak gadis bahkan terpaksa dijual ke daerah lain atau menjajakan diri mereka.
Daerah itu merupakan bagian dari Segitiga Emas (Golden Triangle) yang tersohor akan ladang opiumnya.
Keadaan itu mulai berubah ketika ibunda raja Thailand saat ini, Her Royal Highness Sondej Phra Sirnagarindra Boromarajajonani (yang biasa disebut dengan the Princess Mother), mengunjungi daerah itu pada 1987.
Keprihatinannya akan kemiskinan rakyat di Provinsi Chiang Rai saat itulah yang mendorong perubahan di Chiang Rai. Pada masa itu, tingkat pendidikan sangat rendah dan pelayanan kesehatan pun bisa dikatakan tidak ada.
Princess Mother lalu mulai memikirkan cara untuk mengangkat harkat dan martabat penduduk setempat. Rusaknya ekosistem daerah tersebut yang hancur karena proses penanaman opium (slash and burn, potong dan bakar) sangat memprihatinkan.
Sang Princess Mother mulai memikirkan pentingnya sebuah proyek akbar untuk mengubah kemiskinan.
Dari rancangannya, lahirlah sebuah proyek Sustainable Alternative Livelihood Development yang kemudian diberi nama Doi Tung Development Project pada 1988.
Pada saat itu pulalah the Princess Mother memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya untuk mengembangkan dan memperbaiki lingkungan daerah ini dan menyelamatkan rakyat Chiang Rai dari lubang kemiskinan dan ketergantungan mereka akan kebun opium.
Tanggung jawab untuk mengimplementasikan proyek Doi Tung (Doi Tung = Bukit Bendera) ini diberikan kepada Yayasan Mae Fah Luang, sebuah non-government organization (NGO) yang berada dalam perlindungan keluarga kerajaan.
Proyek yang mereka kerjakan adalah proyek pengembangan alternatif yang menjadi sebuah strategi untuk mengurangi dan pada akhirnya mengeliminasi penanaman dan peredaran opium.
Cara pengembangan alternatif ini bukanlah cara pembasmian tanaman opium dengan menangkapi para penduduk yang menanam opium. Proyek menanam buah naga berhasil, bunga-bunga indah-indah.
Yayasan Mae Fah Luang percaya bahwa penduduk setempat tidak mengultivasi opium karena mereka menyukai tanaman terlarang itu, tetapi karena mereka tidak mempunyai pilihan penghasilan lain untuk menopang hidup.
Dengan mempromosikan pengembangan daerah terbelakang ini dan menyediakan pekerjaan alternatif yang berkesinambungan, Yayasan Mae Fah Luang tidak hanya menghentikan penyediaan dan peredaran opium, tetapi juga menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik dan stabil.
Lewat dukungan dan komunikasi yang baik dari pihak pemerintah, penguasa lokal dan tim di lapangan memainkan peran yang sangat vital dalam pelaksanaan proyek ini.
Tidak ada proyek pengembangan yang dapat membuahkan kesuksesan dalam sekejap. Setiap proyek pembangunan sangat kompleks dan memakan waktu panjang untuk membawa sebuah hasil.
Oleh karena itu, sangatlah penting bahwa segala bantuan dan strategi yang dijalankan merupakan suatu strategi yang menyeluruh dan terintegrasi.
Masalah narkoba dan kejahatan yang terkait hanyalah sebuah akibat dari akar permasalahan yang sebenarnya, yaitu kemiskinan dan kurangnya kesempatan yang memadai.
Dengan visi seperti ini, proyek pengembangan itu merupakan sebuah proyek jangka Panjang.
Maksudnya mencakup (a) perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk perubahan agrikultur (pindah dari penanaman opium ke tanaman lain yang legal), (b) waktu untuk mengimplementasikan perubahan ekonomi, (c) dan juga waktu untuk mengembangkan sebuah infrastruktur sosial.
Setidaknya dibutuhkan 30 tahun untuk mencapai semua perubahan dan untuk melatih komunitas Doi Tung untuk mandiri.
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah menanggapi masalah kesehatan masyarakat yang mendasar.
Prinsip mereka sederhana: orang sakit tak bisa bekerja. Prinsip kedua yakni orang lapar tak bisa bekerja.
Setelah kesehatan warga memadai, mereka diajarkan cara untuk mendapatkan mata pencaharian yang legal, dimulai dari pencukupan kebutuhan pangan.
Bagaimana masyarakat diberdayakan, mempertahankan kehidupan baru mereka.
Anak-anak, tidak lagi harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, barulah pendidikan menjadi prioritas tertinggi.
Pendekatan yang dilaksanakan dibagi berdasarkan beberapa fase untuk menanggapi kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang. Contohnya, ketika penanaman opium dihentikan dan masyarakat kehilangan mata pencaharian, mereka membayar para petani baru ini untuk menanam dan menghijaukan hutan mereka kembali.
Tidak hanya para petani yang mengubah penghasilan mereka dari penanaman opium yang ilegal menjadi penghasilan yang legal. Akan tetapim mereka juga mempersiapkan lingkungan sekitarnya untuk bisa digunakan pada tahap selanjutnya.
Setelah itu, para petani ini dilatih untuk menanam kopi dan kacang macademia. Mereka diberikan keterampilan dasar untuk menanam dan mengembangkan kopi dan kacang macademia dan juga ditanamkan dalam diri mereka rasa kepemilikan yang tinggi terhadap hasil bumi yang mereka produksi.
Dengan cara itu, mereka berhasil memberikan pekerjaan alternatif kepada para penanam opium itu yang pada akhirnya berhasil membasmi peredaran dan kultivasi opium dari daerah tersebut.
Tidak hanya para laki-laki, para wanita pun diberikan keterampilan. Mereka mencari tahu keahlian penduduk setempat, yang terdiri dari enam suku yang berbeda. Ternyata suku Akha sangat terampil menyulam dan suku Shan pandai menenun.
Untuk mengembangkan, membimbing dan membina keahlian tersebut, dibangunlah Handicraft and Cottage Industry. Pusat pelatihan keterampilan yang sekarang ini memberi nafkah kepada lebih dari 300 orang (80% di antaranya adalah wanita).
Dengan cara itu, para wanita mempunyai pekerjaan yang membantu mereka keluar dari jerat prostitusi. Mereka diajarkan cara membuat kain tenun, keramik, daur ulang kertas, dan budi daya tanaman bunga.
Usaha dan kerja keras dari segala pihak, masyarakat Doi Tung berhasil menaikkan pendapatan tahunan mereka, dari yang tadinya hanya US$94 per orang per tahunnya (didapatkan dari kultivasi opium), menjadi US$750 per orang per tahunnya (tanpa opium).
Peningkatan yang luar biasa ini (8 kali lipat) dinikmati oleh 11.000 penduduk yang tergabung dalam proyek ini.
Mereka juga berhasil meningkatkan taraf kesehatan mereka. Hal itu dapat dilihat dari jumlah peningkatan penduduk berusia 56 tahun ke atas yang konsisten (dua kali lipat dalam 15 tahun) dan juga berkurangnya jumlah anak-anak dari umur 1-6 tahun.
Dengan keberhasilan proyek Doi Tung di Chiang Rai, pemerintah Myanmar lalu meminta agar proyek ini juga bisa diimplementasikan di wilayah Yong Kha, sebuah daerah yang juga sarat dengan permasalahan akan peredaran dan kultivasi opium.
Di daerah ini, opium, yang ditimbang dengan peluru asli, ditukarkan dengan beras dan bahan makanan pokok lainnya.
Pada 2002, proyek Doi Tung II pun dimulai. Dengan menggunakan template yang telah berhasil di Doi Tung I, mereka kembali melakukan program Sustainable Alternative Livelihood Development di Yong Kha secara sukses.
Mobilisasi unit kesehatan, pembangunan rumah sakit dan sekolah, dan penggalian kanal irigasi, berhasil meningkatkan taraf hidup 6.022 penduduk yang tergabung dalam proyek ini.
Pendapatan oleh Milanny Halim mereka meningkat dari US$0 per orang per tahun menjadi US$117 per orang per tahun hanya dalam jangka waktu tiga tahun.
Mereka juga berhasil menanggulangi penyakit seperti malaria, TBC, penyakit kulit, dan kurang gizi pada anak-anak balita.
Ternyata tidak hanya Myanmar, Afghanistan pun tertarik untuk mencontoh program Sustainable Alternative Livelihood Development ini.
Pada 2006, pemerintah Afghanistan dan Mae Fah Luang Foundation memulai proyek Sheep Bank (bank domba) yang dilaksanakan di Provinsi Balkh. Mereka memilih untuk menjalankan Sheep Bank setelah melihat dan berbicara dengan penduduk lokal di sana.
Rakyat memang sudah terbiasa dan memiliki tradisi dan keahlian dalam peternakan domba. Bantuan dan bimbingan pun diberikan dalam meningkatkan kesehatan dan kesuburan domba mereka, yang nantinya bisa menjadi sumber mata pencaharian mereka.
Setelah sukses di tiga negara, akhirnya pemerintah Indonesia pun tertarik akan cara dan penanggulangan yang mereka lakukan.
Mae Fah Luang pun terlibat dalam program rekonstruksi Aceh setelah bencana tsunami. Dengan tujuan meningkatkan taraf hidup 1,5 juta orang Aceh dari penghasilan US$1 per hari menjadi US$2 per hari dalam waktu lima tahun, mereka pun memulai proyek ini di daerah Lamteuba pada 2007.
#S.S Budi Rahardjo
baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini