Kamis, dua hari lalu ketika saya di Makassar, Sulawesi Selatan, sempat kontak-kontakan di inbox dengan seorang anak muda, namanya Anggit Purwoto. Dia saya kenal beberapa bulan yang lalu ketika dia tampil di salah satu stasion TV nasional sebagai bintang tamu. Saya sempat minta tolong teman untuk menghubungi dia, saya pingin ketemu. Tapi waktu itu belum bisa, karena dia sudah memesan tiket pulang ke daerahnya, Purbalingga, Jawa Tengah.
Kontak terakhir tersambung, Kamis (26/10) dan kebetulan dia sedang berada di Jakarta. Maka usai acara, dia menemui saya. Obrolan pun berlangsung sambil menikmati makan siang di salah satu resto yang terletak di Jalan KH. Achmad Dahlan, Jakarta Selatan. Sosok anak muda yang beberapa bulan lalu sempat bikin heboh di media, karena memposting video di instagram, anak-anak SD di pedalaman Kalimantan Barat meminta tas dan buku sekolah ke Presiden Republik Indonesia. Dan postingan itu rupanya di respon Presiden Jokowi.
Penasaran saya pingin ketemu dan ngobrol dengan anak muda usia 23 tahun ini. Dia adalah relawan yang mengajar di tapal batas, daerah yang sangat terpencil, Desa Kungkung, di wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Tempat terpencil, tidak ada penerangan listrik, apalagi sarana transportasi. Satu-satunya jalan hanya bisa dilewati sepeda motor, itu pun kalau hujan butuh perjuangan karena becek dan berlumpur. Ada transportasi Sungai Sekayam, tapi medannya lebih berat dan berbahaya, menggunakan perahu kayu menyusuri sungai berbatu, melawan arus, dengan waktu tempuh lebih lama, yaitu 10 jam perjalanan.
Anggit adalah pengajar di SMA di Sungkung, Kabupaten Pengkayang, Kalimantan Barat. Dari kabupaten ditempuh dalam waktu 2 hari melewati Entikong. Lalu lanjut dengan ojek sepeda motor. Biaya ojeknya saja sekali jalan Rp 500.000,- . Dia hampir setahun mengajar di sana, dan merangkap juga sebagai pengajar di SMP dan SDN 04 Sungkung, di desa yang sama.
Anggit bersama murid-murid SDN 04 Sungkung. Foto: instagram of anggitpurwoto
Dia bercerita suka duka sebagai guru di pedalaman, tanpa ada penerangan listrik, apalagi sinyal buat berkomunikasi lewat telepon. “Kalau mau telepon harus ke bukti jaraknya 5 km, lalu masih naik ke pohon paling tinggi untuk mencari sinyal,” kata Anggit.
Selama setahun dia berkutat dengan anak-anak penuh keterbatasan fasilitas dan sarana.
Karena lokasi terpencil, praktis proses belajar hanya sekadarnya. Bahkan guru yang ditugaskan dari kabupaten, hanya ngajar sebulan sekali, karena beratnya transportasi. Tak heran anak-anak sekolah berangkat jam 7 pagi pulang jam 9 pagi, karena nggak ada guru.
Anggit merasakan gimana tinggal di daerah terpencil, dan dia rekam semua kejadian itu dalam memori ingatan yang miris.
Ketika postingan video itu menjadi viral, dan Presiden Jokowi mengapresiasi. Mulai ada beberapa donatur yang memberi sumbangan berupa alat tulis dan seragam sekolah. Anggit saat ini sedang melanjutkan pendidikan S 1, tapi begitu lulus dia tetap bercita cita ingin memgajar di daerah terpencil.
Beberapa waktu lalu dia kembali ke Desa Sungkung dalam kaitan mengantar sumbangan dari donator, dia mendapat informasi kalau video yang bikin viral itu ditanggapi pro dan kontra. Sebagian besar masyarakat menyambut gembira, tapi ada juga oknum yang tidak suka. Bahkan Anggit sempat mendapat ancaman, karena menganggap telah menyebarkan aib. Dibalik teterbelakangan, ada saja oknum yang mengambil manfaat dari situasi itu.
Anggit, adalah sedikit dari anak muda kekinian. Dia adalah relawan sekaligus pahlawan tanpa tanda jasa. Hidup dan berdesikasi. Anggit mendedikasikan hidupnya untuk dunia pendidikan, bermanfaat untuk orang lain dan generasi akan datang. Anak muda kekinian, adalah anak mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk orang lain.