Beritaenam.com — Hari ini (23/9) Dirut Jiwasraya, Hendrisman Rahim menghadapi sidang tuntutan. Untuk terdakwa kasus Jiwasraya lainnya, Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama Hanson International Tbk (MYRX), Kamis besok, 24 September 2020.
Seluruh pemangku kepentingan memberikan perhatian terhadap kasus Asuransi yang memasuki sidang. Pasalnya, Presiden Jokowi mengatakan kasus asuransi Jiwasraya ini terjadi sejak lama.
“Ini persoalan yang sudah lama sekali 10 tahun yang lalu, problem ini yang dalam tiga tahun ini kita sudah tahu dan ingin menyelesaikan masalah ini,” kata Jokowi di Balikpapan.
Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui mulai tertarik untuk mengikutinya. “Dulu saya tak pernah dilapori bahwa terjadi krisis keuangan yang serius di PT. Jiwasraya,” demikian SBY bersaksi.
SBY menyesalkan ketika mulai dibangun opini, dan makin kencang, bahwa seolah tidak ada kesalahan pada masa pemerintahan sekarang ini, dan yang salah adalah pemerintahan SBY.
“Saya mulai bertanya… apa yang terjadi? Kenapa isunya dibelokkan? Kenapa dengan cepat dan mudah menyalahkan pemerintahan saya lagi? Padahal, saya tahu bahwa krisis besar, atau jebolnya keuangan Jiwasraya ini terjadi 3 tahun terakhir,” tutur SBY.
“Ada itikad jahat yang dilakukan secara bersama-sama,” kata Profesor Mudzakir Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.,saat memberikan pendapat sebagai saksi ahli di persidangan lanjutan Jiwasraya secara daring, Rabu (16/9/2020).
Benny Tjokro dalam sidang terdahulu sempat membuka kartu, taipan kakap pasar modal dan property, dalam sidangnya menyebut nama Grup B, mantan ketua partai G yang berada dalam kasus Asuransi Jiwasraya.
“Nyanyian” ini diungkapkan Benny sebelum menjalani sidang dengan agenda putusan di PN Jakpus, Rabu (24/6). Benny yang tengah duduk di kursi pengunjung sidang mengklaim, dirinya hanya kambing hitam atau tumbal dalam kasus itu.
Kasus Jiwasraya ini ibarat sebuah “puncak dari gunung es”.
Nampak kecil di atas permukaan, ternyata besar yang tidak kelihatan. Kalau secara kumulatif kerugian negara mencapai jumlah puluhan triliun, sebenarnya itu sudah tergolong krisis besar.
Sangat bisa bersifat sistemik, terstruktur dan masif. Barangkali tidak keliru apa yang dikatakan oleh BPK bahwa krisis keuangan Jiwasraya ini bersifat sistemik dan “gigantic”. Aset BUMN secara nasional lebih dari 8.000 triliun rupiah, menyimpan banyak “bom waktu”.
Yang menjadi korban, peserta asuransi di korporat tersebut. Bahkan, “korban” Jiwasraya juga berasal dari negara lain (Korea Selatan) sebanyak 474 nasabah dengan nilai 574 miliar rupiah.
Kalau tidak ada jaminan yang pasti, dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan para nasabah asuransi di Indonesia secara keseluruhan.
Sangat mungkin keseluruhan penyimpangan ini merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dengan para “arsitek” yang bekerja di belakangnya.
Mengenai dugaan keterlibatan Erick Thohir dalam mega skandal korupsi Jiwasraya pertama kali dilontarkan oleh politikus Partai Demokrat, Andi Arief dan politikus Partai Gerindra, Arief Puyuono melalui akun Twitternya.
Salah satu Tersangka yang merupakan mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Harry Prasetyo pernah bekerja di bawah kepemimpinan di KSP (menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis KSP sejak 2018 hingga Oktober 2019).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sumber yang bisa dipercaya, Harry Prasetyo diduga sengaja direkrut berkaitan dengan kepentingan Pemilu 2019 yang lalu sebagai pundi-pundi uang. Agar mister M, jadi wakil Jokowi.
Skema Ponzi di Asuransi Jiwasraya
Hiruk-pikuk “bail-out” Asuransi Jiwasaya, disebut karena polis JS Saving Plan. Dari siding pengadilan, kasus gagal bayar Jiwasraya menurut Saksi ahli sekaligus Pakar Asuransi Irvan Rahardjo.
Jebloknya kinerja Jiwasraya hingga akhir 2019 lalu hingga memiliki utang Rp 52 triliun karena adanya produk JS Saving Plan.
Menurutnya dengan janji imbal hasil pasti di angka 9 persen hingga 13 persen, penerbitan JS Saving Plan oleh manajemen lama Jiwasraya menambah beban kinerja keuangan.
“Memang berizin dan boleh dalam aturan, tapi dalam prinsip asuransi itu tidak patut dilakukan. Asuransi itu bukan manajer investasi, tapi manajer risiko,” ujar Irvan menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Selain imbal hasil tinggi, lanjutnya, faktor yang menghancurkan kinerja keuangan Jiwasraya dari penerbitan JS Saving Plan juga karena ini akhirnya menjadi produk berskema ponzi atau gali lubang tutup lubang.
Dia menambahkan, skema ponzi dalam JS Saving Plan terjadi karena kinerja pengelolaan investasi Jiwasraya tidak mampu menutup tingginya janji imbal hasil.
Sampai akhirnya di satu titik, Jiwasraya sudah tidak mampu membayar pokok dan bunga investasi yang ditanam nasabah sampai saat ini.
Ini juga terjadi di lembaga asuransi atau menyangkut dana pensiun di lembaga-lembaga yang lain. Misalnya jika ternyata juga terjadi di Asabri yang katanya potensi kerugiannya mencapai 10 hingga 16 triliun rupiah.
Atau juga jika terjadi di PT. Taspen yang diinformasikan memiliki pertumbuhan investasi saham minus 23% dalam dua tahun terakhir.
Rumor & Desas-Desus Berkembang.
Menyasar ke sana ke mari. Fakta dan opini bercampur aduk. Terkadang tak mudah membedakan mana berita yang benar, dan mana yang “hoax” dan fitnah.
Awal Januari 2020, isu Jiwasraya makin ramai dibicarakan. Ditambah dengan isu Asabri. Bisik-bisik, sejumlah lembaga asuransi dan BUMN lain, konon juga memiliki permasalahan keuangan yang serius.
Di kalangan DPR RI mulai dibicarakan desakan untuk membentuk Pansus. Tujuannya agar kasus besar Jiwasraya bisa diselidiki dan diselesaikan secara tuntas.
Bahkan, menurut sejumlah anggota DPR RI dari Partai Demokrat, yang menggebu-gebu untuk membentuk Pansus juga dari kalangan partai-partai koalisi.
Tentu ini menarik. Meskipun belakangan diketahui bahwa koalisi pendukung pemerintah lebih memilih Panja. Bukan Pansus.
Upaya menyelesaikan persoalan Jiwasraya dengan menggandeng penegak hukum, menurut Sri Mulyani, menunjukkan pemerintah dan DPR memiliki langkah yang sama untuk segera mengatasi persoalan likuditas di Jiwasraya.
“Ini memberikan sinyal yang jelas dan tegas bahwa pemerintah dan DPR akan bersama-sama untuk tidak melindungi mereka yang melakukan kejahatan korporasi, dan juga untuk memberi kepastian pada para investor kecil,” ungkapnya.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan potensi kerugian nasabah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Kerugian tersebut mencapai Rp40 triliun-Rp50 triliun.
“Ada potensi kerugian sekitar Rp40 triliun-Rp50 triliun kerugian yang ditanggung jutaan nasabah Bumiputera dan Jiwasraya. Tapi, sampai saat ini, baru 20 nasabah dari Bumiputera dan Jiwasraya yang mengadu ke kami (BPKN),” kata Koordinator Komisi III BPKN Rizal E. Halim di Kementerian Perdagangan.
Jaksa Agung Tak Pilih Bulu
ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung RI menjadi sosok yang familiar tatkala kasus Asuransi Jiwaraya ditelisik.
Jaksa Agung bahkan meminta masyarakat dan lembaga swadaya memantau persidangan dugaan korupsi dan pencucian uang (TPPU) yang dialami PT Asuransi Jiwasraya.
Burhanuddin mengatakan, Kejaksaan Agung (Kejakgung) sudah menuntaskan penyidikan, dan pemberkasan. Kini, kasus tersebut, kata dia, penanganannya berada di wilayah pembuktian hukum, setelah Kejakgung mengajukan para tersangka ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta Pusat.
Pria kelahiran Cirebon, 17 Juli 1954 itu tak main-main untuk terus membongkar kasus korupsi. Bahkan, Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan bahwa penelisikan kasus ini terus berkembang. Ia memastikan Kejaksan Agung akan terus mengejar untuk mengembalikan kerugian negara.
Menurut dia, aset-aset para tersangka yang telah disita tim penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung nilainya mencapai Rp 13,1 triliun, sedangkan perhitungan BPK Rp 16,9 triliun.
ST Burhanuddin juga memastikan sampai kapan pun akan mengejar dan mencari harta-harta atau aset-aset dari para tersangka dalam rangka pengembalian kerugian negara sebesar Rp 16,9 triliun. Kasus lanjutan skandal Asuransi Jiwasraya memasuki jilid dua.
Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai bahwa dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, langkah Kejagung patut diapresiasi.