Dalam obrolan akrab dan saling curhat di antara sejumlah wartawan pensiunan dengan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan malam itu, Susi Pudjiastuti berterus terang bahwa di kabinet Jokowi banyak yang tidak menyukainya.
Di tidak disukai beberapa menteri, terutama oleh menteri menteri yang dekat – dan didekati – para pengusaha hitam.
Dia kena omelan Menteri Perencanan Pembangunan Nasional, Bambang Soemantri Brojonegoro. Dan berselisih dengan Menkeu Dr. Sri Mulyani.
Susi Pudjiastuti berpendapat bahwa semua produk yang bisa ditanam petani seharusnya tidak diimpor. Setidaknya dilakukan paralel dan tidak merugikan petani.
Sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) dia ada pengalaman dengan masalah impor garam. Rakyat Indonesia mengonsumsi garam rata rata 4,7 juta ton per tahun. Industri garam rakyat bisa sediakan 2,1 – 2,4 ton. Maka kewenangan rekomendasi yang pernah dimilikinya melalui UU 2014 membatasi impor maksimal 2,3 juta ton.
Impor garam dilarang pada masa petani sedang panen – agar harganya tidak jatuh. Negara mengalokasikan anggaran untuk teknologi peningkatkan mutu garam.
Pada kenyataannya undang undang dicabut. Kewenangan tak lagi dimilikinya. Sehingga Presiden membolehkan lagi impor garam hingga 3,7 juta ton.
“Selama puluhan tahun – pada masa saya – petani bisa menikmati harga garam di atas Rp.1000. Bahkan lebih. Sejarah itu,” kenangnya.
“Di Sumbawa ada petani garam cium kaki saya karena bisa beli truk sendiri. Puluhan tahun dia sewa. Waktu itu harganya di atas Rp.2000.”
Setelah kewenangannya membatasi impor garam dicabut, harga garam rakyat jatuh lagi. Petani garam miskin lagi. Ditempel menteri yang akrab dengan pengusaha hitam, Presiden Jokowi mengikuti kemauan importir. Izin impor garam 3,7 juta ton ditandatangani.
Tak hanya garam, kebijakan impor gila gilaan juga terjadi di komoditi beras, kedelai, gandum, dan buah buahan.
“Maka saya bilang hapuskan saja kementrain perdagangan dan industri,” tegasnya. Dua kementrian itu cuma mengurus kuota impor, katanya.
HANCURNYA industri garam rakyat dan produk pertanian lainnya berdampak sistemik bagi rakyat kita saat ini. Daya beli petani dan warga desa menurun, anak anak di desa tumbuh dengan kondisi kurang protein.
“Tanpa asupan protein yang baik dan pendidikan yang memadai, 20 tahun dari sekarang rakyat kita akan jadi kuli,” katanya.
“Sementara anak anak orang kaya yang kelebihan duit mengkonsumsi shabu, ” komentar Neta Pane, salahsatu peserta diskusi. “Going to national genocide,” Susi menggumam.
SUSI juga mengaku dia diomeli oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Soemantri Brojonegoro karena mengembalikan anggaran Rp.9 triliun.
“Saya bisa berhemat tapi malah kena disclaimer ” katanya. “Bambang bilang, cari utangan ADB itu susah! Kenapa tidak dipakai?”
Susi menolak penggunaan duit utangan ADB – Asian Development Bank – untuk pemborosan. Dicontohkannya dalam program pembuatan kapal untuk nelayan, ada 10 macam kegiatan pendahuluan untuk mewujudkannya, meliputi diskusi diskusi, seminar. “30 % anggaran habis di situ!”
Sudah menjadi “tradisi” di semua lembaga dan kementrian untuk setiap kebijakan didahului dengan seminar dan diskusi yang menghabiskan anggaran negara – yang sebagiannya didapat dari utang luar negeri – dengan sebutan yang gagah seperti “pemberdayaan” – “penguatan” “pengembangan” – “sinkronisasi “harmonisasi” – “sosialisasi”.
“Prett preett…lah.. 30 % anggaran negara habis di situ! ” kata Susi disambut tawa para peserta diskusi.
Susi mau pinjaman ADB buat beli kapal nelayan. Bukan untuk “capasity building” – bule bule seminar, bolak balik ke sana sini, diongkosi hotelnya, transportnya.
“Technical Assistant itu habis berapa? Beli laptop, sewa mobil, bayar hotel – bodoh! Hutang luar negeri habis buat gituan, ” sembur Susi.
Pemborosan yang ditentangnya yang membuat dia beda paham dengan Dr. Sri Mulyani. Menkeu Terbaik Asia itu mengaku tak bisa menghapus peruntukan anggaran itu.
“Saya dukung kebijakan presiden untuk menekan pemborosan. Maka saya kembalikan anggaran ke negara. Tapi saya diomeli Bambang. Cari utangan itu susah, katanya”.
JOSEPH ERWIYANTORO alias “mbah Cocomeo”, Komandan Batalion Gajah Duduk dan Penguasa Markas Kandang Ayam Rawa Mangun, menyatakan bahwa ada masa ketika di kabinet Jokowi, sosok Susi Pudjiastuti dijuluki sebagai “perdana menteri”. Karena ‘powerfull’ dan gagasannya diterima oleh presiden.
Ada masa ketika ribuan orang dari berbagai dirjen dikumpulkan untuk mendengarkan Susi Pudjiastuti bicara. Dari sana lah tercetus gagasan “Susinisasi”.
“Susinisasi” itu adalah menaikkan gaji TNI dan Polri 200 % memotong jumlah PNS %. Yang sudah tidak produktif dan tidak mampu beradaptasi dengan manajemen modern dipensiunkan.
“Saya tawarkan ‘golden shakehand’. Lulusan SMA bisa dapat Rp. 250 juta, ” katanya. Pangkas PNS 30% “Tapi selanjutnya tiap tahun rekrut 10% PNS baru – sesuai kuaflifikasi dan kompetensi.”
Dalam kacamata Susi banyak lembaga dan kementrian yang tak berguna dan dihapus saja. Dia bicara terus terang dan kemudiannya dia tersingkir.
“Saya bilang sama Pak Presiden, silakan ‘Susinisasi’ dipakai terus. Ganti nama jadi ‘Jokowisasi’ atau Sri Mulyanisasi’ juga boleh “.
Korupsi dibuang, good governance (tata kelola baik) jalan, lembaga lembaga dipangkas separuhnya. TNI turun ke laut – bukan ke sawah.
Tak cuma dengan menteri ekonomi dia beda visi. Bahkan dengan panglima TNI dia berani menyatakan tak setuju kebijakannya.
“Maaf Pak Panglima, saya tidak setuju TNI tanam padi atau buka sawah. Whatever. Mendingan TNI ke laut, nangkap ikan, ” katanya kepada panglima.
Diungkapannya, harga padi itu Rp.10 ribu per kilo. Kalau nangkap bawal putih di laut bisa dapat Rp.300 ribu. Nangkap lobster malah Rp.500 ribu. Setara dengan 30 – 50 kg padi.
“Kalau mau tanam, ya, tanam ganja saja. Buat ekspor ke negara yang sudah melegalkan ganja, ” lanjut Susi terus
terang.
Ada potensi Rp. 300 triliun di situ, katanya. (BERSAMBUNG)