[ad_1]
25 Juli 2020 by Disfira Ika

Chinatown di Makassar | unsplash.com
Asimilasi budaya yang menjadi satu
Tak disadari, banyaknya mi kering ini menjadi salah satu peninggalan yang ditinggalkan orang Tionghoa di sana. Warisan kuliner ini adalah jejak asimilasi budaya dari orang Tionghoa yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Pencampuran budaya yang kental itu tak hanya terlihat di bidang kuliner, tapi juga merambat ke bidang lain seperti seni dan budaya.

Makanan dan seni | unsplash.com
Jika dirunut dari catatan sejarah, tidak ada keterangan pasti kapan orang dari daratan Tiongkok masuk ke Sulawesi Selatan. Yang jelas mereka sudah tinggal di sana sejak abad ke-15 saat Kerajaan Gowa-Tallo berjaya.
Saat itu, ibukotanya yang saat itu terletak di delta Sungai Jeneberang menjadi magnet tersendiri bagi pedagang asing dari Eropa dan Tiongkok untuk berdagang dan menetap. Meski begitu, ada juga catatan histori yang ditemukan di sebuah nisan di pemakaman yang sekarang menjadi Pasar Sentral Makassar. Disebutkan bahwa orang Tionghoa mulai masuk sejak abad ke-14.

Penduduk | unsplash.com
Rumpun Hakka atau Kek juga menjadi rumpun terbesar yang datang ke Makassar yang kebanyakan berasal dari Provinsi Kwang Tung. Sedangkan Kanton atau Kwan Foe datang belakangan pada sekitar abad ke-19 dan hampir bersamaan dengan rumpun Hakka.
Selain itu, masih ada beberapa rumpun Tionghoa lain yang datang ke Makassar yang berasal dari provinsi lainnya tapi jumlah yang relatif lebih kecil. Saat pertama kali datang ke Sulawesi Selatan, rombongan pendatang tersebut tidak langsung bermukim di Makassar.
Awalnya mereka berdagang, bertani, dan menjadi nelayan di sekitar delta Sungai Jeneberang. Ramainya daerah benteng Somba Opu membuatnya betah dan mulai membaur dengan penduduk lokal. Ketika Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda dan kawasan benteng Somba Opu mulai ditinggalkan, orang Tionghoa mulai berpindah Makassar.
Oleh pemerintahan Belanda, mereka dipusatkan di satu daerah khusus yang diberi nama Chineese Wijk atau Kampung China. Di sana, mereka diatur dan diawasi dengan ketat. Bahkan tidak diperbolehkan berinteraksi dengan warga sekitar.

Rumpun | unsplash.com
Kuliner mi dari Tionghoa pun mulai diterima dan disukai oleh warga lokal. Coto yang jadi salah satu kuliner populernya adalah variasi dari makanan khas Tionghoa. Selain itu, perpaduan dua budaya juga tampak dari cara menyeduh kopi. Penggunaan kain penapis yang ditarik ke atas adalah metode yang dibawa oleh orang Hainan yang memang terkenal sebagai peracik kopi yang nikmat.
Di bidang seni, orang Tionghoa juga memberikan sumbangan yang tidak sedikit. Pada 1940-an sampai 1950-an, orang Tionghoa dengan orkes Melayunya menghiasi jagad seni dan budaya Makassar.
[ad_2]
Source link