Beritaenam.com, Yangon – Pemimpin defacto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menegaskan bahwa vonis penjara terhadap dua wartawan kantor beritaReuters telah mengikuti prosedur hukum, walau berbagai kalangan internasional mengecam hukuman tersebut.
Dalam pidato di konferensi ekonomi internasional di Vietnam, Suu Kyi mengatakan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo telah melanggar hukum dan vonis terhadap mereka “tidak ada kaitannya sama sekali dengan kebebasan berekspresi”.
Dia juga mengimbau semua pihak yang mengkritiknya membaca putusan pengadilan.
Kedua wartawan itu, menurutnya, “berhak mengajukan banding atas putusan dan menjelaskan mengapa putusan tersebut salah”.
Pernyataan peraih Nobel Perdamaian itu kemudian ditanggapi lembaga Human Rights Watch yang berpendapat semua pemahaman Suu Kyi “salah”.
“Dia gagal memahami bahwa makna ‘rule of law’ sebenarnya adalah menghormati bukti yang diajukan di pengadilan, tindakan yang didasarkan undang-undang yang proporsional dan dijabarkan secara jelas, serta independensi sistem hukum dari pengaruh pemerintah atau pasukan keamanan,” kata Wakil Direktur Asia, Phil Robertson.
“Berdasarkan hal-hal ini, persidangan wartawan Reuters gagal uji,” imbuhnya.
‘Dijebak polisi’
Kedua wartawan itu dihukum penjara selama tujuh tahun pada 3 September karena melanggar undang-undang rahasia negara saat menyelidiki dugaan pembantaian warga Rohingya oleh militer di Desa Inn Din.
Mereka kemudian ditahan saat membawa dokumen resmi yang baru saja diberikan beberapa polisi di sebuah restoran. Mereka mengklaim dijebak oleh polisi, yang disokong saksi polisi di persidangan.
Pihak berwenang belakangan melancarkan penyelidikan soal dugaan pembunuhan di Desa Inn Din. Hasilnya, penyelidikan menyimpulkan pembantaian telah berlangsung dan berjanji mereka yang terlibat akan ditindak.
Warga Rohingya mengalami diskriminasi selama berpuluh tahun di Myanmar karena dianggap penduduk ilegal dari Bangladesh.
Krisis yang terjadi sejak tahun lalu berlangsung ketika militer melancarkan aksi sebagai balasan atas serangan milisi Rohingya terhadap sejumlah pos polisi. Hal ini memicu sedikitnya 700.000 orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar.
Pada Agustus lalu, laporan PBB menyatakan sejumlah perwira militer Myanmar harus diselidiki atas dugaan genosida di negara bagian Rakhine dan kejahatan kemanusiaan di area lain.
Laporan itu menyebutkan aksi militer yang mencakup pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, persekusi, dan perbudakan, sangat tidak proporsional dibanding ancaman keamanan yang sebenarnya.