beritaenam.com, Jakarta – Keluarga Besar Putra Putri (KBPP) Polri meyakini, selongsong peluru yang diduga membunuh sejumlah orang dalam kerusuhan 22 Mei 2019 bukan milik kepolisian. Menurutnya, peluru yang ditembakan tersebut berbeda dari peluru tajam milik Brimob.
Ketua Umum KBPP Polri Bimo Suryono mengatakan, sejak awal, Korps Bhayangkara telah memastikan tidak mengunakan senjata api dalam pengamanan aksi tersebut.
Apalagi, efek yang ditimbulkan oleh peluru tajam yang keluar dari senjata api akan menyisakan bekas luka yang parah, dengan jarak tembak yang tidak jauh
Hal tersebut, nyatanya tidak ditemukan bekas luka yang tertera dalam beberapa jenazah korban aksi 21 Mei 2019.
“Dari senjata yang dimiliki Brimob, kalau betul senjata tajam ditembakkan bukan hanya bolong, buyar badannya,” ujar Bimo dalam acara Merajut Persaudaraan dan Kolaborasi untuk Indonesia Damai Pasca Pemilu 2019, di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu, 29 Mei 2019.
Selain itu, ia meminta kepada masyarakat apabila menemukan salah satu selongsong yang terbukti membunuh salah satu korban kerusuhan agar menunjukan kepada aparat kepolisian. Ini untuk mencocokan adanya kesamaan selongsong peluru yang dimiliki kepolisian.
“Ada namanya pemeriksaan laboratorium forensik, jadi peluru-peluru itu bisa diuji, kalau memang peluru tajam. Masing-masing mempunyai standar mengenai peluru, seperti putaran (peluru),” imbuhnya.
Selain itu, Bimo juga menduga kerusuhan 22 Mei 2019 didalangi oleh aktor intelektual. Hal tersebut terlihat dari masa aksi yang datang tidak ada unsur mahasiswa.
Melansir medcom.id, menurutnya jika berkaca pada aksi kerusuhan 1998 sangat jelas terlihat mahasiswa sebagi roda penggeraknya.
Namun, pada kerusuhan di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak tampak adanya lembaga yang mencolok bertanggung jawab dalam aksi.
“Jadi patut diduga ada aktor intelektual yang memanfaatkan situasi, memperbolehkan unjuk rasa ditumpangi sehingga ada kejadian yang sifatnya huru hara,” kata dia.