Beritaenam.com — Catatan penting saya, sejak berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang semangat, cita cita dan tujuannya menjamin penyalah guna narkotika direhabilitasi meskipun diancam secara pidana, belum terwujud.
Paradigma UU Narkotika tersebut tidak lagi menggunakan paradigma pemenjaraan. Tetapi, memperkenalkan paradigma penempatan ke dalam lembaga Rehabilitasi sebagai bentuk hukuman.
Bentuk hukuman menjalani penempatan ke dalam lembaga Rehabilitasi adalah bentuk hukuman bagi penyalah guna, yang statusnya diperhitungkan sama dengan bentuk hukuman pidana.
UU narkotika tahun 2009, secara eksplisit menyatakan bahwa cita-cita dan tujuannya adalah memberantas pengedar dan di sisi lain menjamin penyalah guna mendapatkan upaya Rehabilitasi.
Untuk mencapai cita dan tujuan dalam menjamin penyalah guna direhabilitasi, Hakim diberi kewenangan dapat menjatuhkan hukuman berupa penempatan ke dalam Lembaga Rehabilitasi — baik terbukti atau tidak terbukti bersalah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 103.
Kewenangan “dapat” menjatuhkan hukuman Rehabilitasi atau menempatkan ke dalam Lembaga Rehabilitasi, maknanya bukan bersifat fakultatif tetapi bersifat wajib.
Kewenangan tersebut adalah kewenangan Justice For Health, yang wajib diperhatikan hakim (127/2) bila memeriksa perkara penyalaguna atau perkara yang terbukti sebagai penyalah guna dalam rangka mewujudkan cita cita dan tujuan UU narkotika.
***
Itu sebabnya pada tahun 2010 ketika Ketua MA Prof Harifin Tumpa mengeluarkan petunjuk pelaksanaan Justice For Health berupa surat edaran MA no 4 tahun 2010 tentang penempatan penyalah guna, korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu ke dalam Lembaga Rehabilitasi.
Pada masa Ketua MA Prof Harifin , surat edaran MA yang memuat Justice For Health ketika itu belum dipedomani oleh Hakim, keburu Prof Harifin Tumpa diganti Prof Hatta Ali.
Prof Hatta Ali selama menjadi Ketua MA , Mahkamah Agung mengabaikan Justice For Health tersebut dan justru menghukum penjara terhadap perkara narkotika yang terdakwanya terbukti sebagai penyalah guna (lihat : direktori keputusan mahkamah agung).
Kalau hakim menghukum penjara terhadap penyalah guna atau pengguna yang melanggar hukum, padahal cita cita dan tujuan UU-nya menjamin penyalah guna direhabilitasi.
Bukankah ini pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di meja hijau?
Itulah kenapa banyak pertanyaan yang perlu dijawab oleh para hakim yang mengadili perkara narkotika dengan kepemilikan untuk digunakan sendiri.
Kenapa hakim diberi kewenangan dapat menghukum rehabilitasi Justice For Health dalam rangka mewujutkan tujuan UU berdasarkan pasal 103, tidak digunakan.
-Apakah hakim tahu bahwa penyalah guna itu korban kejahatan, pengidap sakit ketergantungan narkotika, dengan gangguan mental kejiwaan tapi diancam secara pidana.
-Apakah hakim tahu bahwa hukuman penjara menyebabkan terjadinya residivisme penyalah guna narkotika yang membahayakan ketahanan nasional bangsa.
-Apakah hakim tahu bahwa hukuman penjara bagi perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna menyebabkan anomali Lapas Indonesia.
-Apakah hakim tahu kalau hukuman penjara justru menambah suburnya bisnis narkotika di indonesia karena demandnya naik yang otomatis supplynya juga naik.
-Apakah hakim tahu bahwa keluarga penyalah guna kelelahan dan babak belur mengikuti proses pidana perkara penyalah guna yang tujuan UU nya menjamin penyalah guna direhabilitasi tapi kesulitan mendapatkan upaya rehabilitasi.
-Apakah hakim tahu bahwa penyalah guna tidak punya niat jahat, mereka menjadi penyalah guna karena tuntutan sakit adiksi narkotika yang dideritanya.
-Apakah hakim tahu, penyalah guna itu terpaksa membeli dan menggunakan narkotika karena tuntutan phisik dan psikis agar tidak sakau.
Penyalah guna itu memang salah secara pidana, mereka harus dihukum.
Nah, di sini Hakim diberi kewenangan menghukum “dapat” menempatkan penyalah guna ke dalam Lembaga Rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak bersalah.
Kewenangan dapat menempatkan penyalah guna ke dalam lembaga rehabilitasi ini bersifat wajib.
Rehabilitasi sendiri menurut pasal 103/2 adalah bentuk hukuman secara eksplisit disebutkan masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Pertanyaan Untuk Hakim Agung
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang mengadili tingkat kasasi dan melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan, mestinya memahami bahwa para hakim diberi kewenangan UU Narkotika “dapat” menjatuhkan hukuman berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi, bersifat wajib.
Perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri wajib bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi pada pengadilan tingkat pertama.
Karena sejak berlakunya UU Narkotika hanya perkara artis Nunung dan Jeffri Nichol yang dihukum berupa penempatan ke dalam Lembaga Rehabilitasi.
Maka, banyak masyarakat yang mempertanyakan, kenapa Hakim Agung Kamar Pidana sebagai pemegang Fungsi Pengawasan tidak meluruskan?
Eksekusi putusan Hakim tetap menjadi tugas Jaksa, tempat menjalani Rehabilitasi bukan di Lapas tetapi di rumah sakit yang ditunjuk menteri kesehatan (pasal 56).
Penempatan ke dalam Lembaga Rehabilitasi, berdasarkan peraturan pemerintah pasal 13 no 25 tahun 2011 menjadi tugas Menteri Kesehatan untuk menyiapkan proses pelaksanaan hukuman dan berkordinasi dengan penegak hukum lainnya.
Kalau UU narkotika, Peraturan Pemerintah no 25/2011 dan SE MA no 4/2010 berfungsi dengan baik. Maka, masalah narkotika akan menurun secara sistemik, tidak seperti sekarang.
Selamat menikmati Hari Kemerdekaan.
Dan, selamat Hari Ulang Tahun Ke – 75 Mahkamah Agung RI, yang jatuh pada tanggal 19 Agustus 2020.
@Anang Iskandar merupakan Aktivis Anti Narkoba yang rajin menulis kolom di beberapa media massa juga dosen. Komjen (p) yang merupakan mantan Kepala Badan Reserse (Bareskrim) dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ini baru saja meluncurkan buku: Politik Hukum Narkotika.