Media massa mainstrean dan konvensional bersama para aktifis LSM – yang selama ini disuplai dana asing – juga kubu oposan, kini kerepotan menghadapi netizen pro pemerintah.
Bahkan Dewan Pers pun terganggu. Menuding “buzzer” merusak kebebasan pers. Bayangkan – lembaga berwibawa yang seharusnya mengantisipasi perkembangan media massa – tidak siap menghadapi kehadiran media baru : media sosial – sebagai wujud demokratisasi sesungguhnya, di mana kini setiap orang bebas bersuara (dengan gadgetnya) dan layak didengar. Dewan Pers masih saja pakai paradigma lama.
Sebagai orang media, saya tahu persis tak ada media (mainstream) yang sepenuhnya independen. Termasuk Dewan Pers – sebagai pengawasnya. Kasus Kompas TV yang terancam denda Rp. 500 juta atas laporan Veronica Koman dan sampul ‘Tempo’ yang tendensius – nyaman nendang sana sini – adalah contohnya.
Partisan selalu ada, baik secara kelembagaan lewat kontrak bisnis, maupun kesepakatan masing masing awaknya secara diam diam. Transfer langsung ke penulis berita.
Banyak media mainstream terverikasi Dewan Pers patut diduga menyerang kementrian / instansi pemerintah supaya dapat jatah iklan atau diajak jalan jalan oleh menterinya. Dan dapat perlindungan mereka.
Maunya mereka, presiden, menteri dan pejabat pemerintah boleh digebugi – bebas dicaci maki dan dihajar kanan kiri di media – dan tidak boleh melawan. Tak boleh menjawab – mengiyakan saja. Karena kritikus, kalangan LSM, dan aktifis antiperintah, jurnalis piaraan konglomerat dan mafia itu – mahasuci dan mahabenar dan menguasai kebenaran tunggal. Dan final.
“Kalau mau jawab, pasanglah advertorial / sponsor artikel di media kami. Kami segera kirim ‘rate card’-nya “.
Lho, kok enak banget!?
Mereka merasa berhak mengawasi dan mengritik pemerintah dan kita rakyat yang nonton dan membaca tak boleh mengawasi dan mengritisi mereka. Wooh, enaknya!
Kini mereka minta presiden menertibkan para pendukung istana dan menyumbunyikan itikad jahatnya, “ayo tertibkan buzzermu dan biarkan kami menyerangmu, menghajarmu. Jangan melawan, seperti sebelumnya”.
Media sosial dianggap panggung pertunjukkan wayang kulit. Cuman dalang yang bebas omong – yang lain musti diam dan nonton saja. Yang berisik musti ditertibkan.
Sosok publik yang dulunya pendukung mantan wapres mendadak membandingkan gubernur Jateng dan DKI dalam mengatasi banjir dan selalu menyebut diri “tidak berpihak kemana mana”.
Kadrun dan para pejabat pecatan, menyerang di twitter, FB dan Youtube, lalu mereka minta pemerintah melalui humas, membalas di koran dan majalah. Jaka sembung bawa golok. Ora nyambung, Mbok.
Logika yang sedang dikembangkan saat ini, warga pendukung pemerintah dijuluki “buzzer” dan “buzzerRp” – dengan konotasi negatif, hina dina – sedangkan penyerang pemerintah dijuluki “kritikus” / pengamat, netizen : konotasi positif, makhluk mulia.
Padahal mereka itu itu juga. Pejabat pecatan yang tak laku laku, nyinyir dan vokal karena masih ngarep posisi.
Sebenar benarnya, selogis-logisnya – seakurat-akuratnya – data dan fakta yang dikutip dari sumber pemerintah dan pendukung, tetaplah disebut “buzzer” – kelompok nista.
Sedangkan oposan dan mereka yang cuma bisa cemooh, nyindir, mlintir pernyataan, caci maki, nulis kotor dan meyebar hoax, menyerang sebagai pelampiasan sakit hati itu tetaplah disebut “kritik” dari kritikus. Orang mulia.
Dulu Kwik Kian Gie mengritik di Kompas dan dimuliakan publik. Kritiknya jadi nujum dan kebenaran akhir yang tak terbantahkan. Sekarang kritiknya digugat netizen. Ini maksudnya apa? Sudah pernah jadi orang pemerintah, memimpin Bappenas, jejak hasilnya mana? Dulu mengubah apa? KKG langsung sewot. Ketakutan.
KEMUNAFIKAN dan manipulasi adalah ciri netizen oposan dan penyerang para pendukung pemerintah. Baik yang kini menggugat “buzzerRp” maupun buzzer gratisan. Para relawan.
Bagaimana dengan aksi “buzzerDinar” dan “buzzer Dollar” ? “buzzerChaplin”, “buzzerCikeas” dan “buzzerCendana” ? Woii, jangan belagak pilon!!
Ada partai agama yang claim sendiri punya “cyber army” sampai ratusan ribu yang tersebar di tanah air dan belagak pilon menggugat dana untuk influenzer di DPR RI. Munafiqun !.
Sesungguhnya masing masing dari mereka juga punya tim buzzer dengan sebutan masing masing untuk menyerang istana dengan masif, sistematis – lewat akun akun bodong. Bahkan ada yang digelari ustadz di kubu anti pemerintah yang ngaku ini “perang”. “Begini caranya perang sekarang” katanya pamer gadgetnya yang bertebaran di meja.
Giliran dilawan, diserang balik – kalah dan kehabisan logistik, menjerit – meraung raung. Teriak “bazzar – buzzer” istana. Seperti yang lagi ramai sekarang.
Mereka memanipulasi publik – seolah olah yang ditangkap polisi adalah intelektual dan ulama pengritik pemerintah dan istana. Padahal yang ditangkap penyebar kebencian, yang mencaci maki, omong kotor dan menghina kyai/habib. Sengaja nantang aturan protokol kesehatan. Lagunya sok kuat padahal penyakitan.
Akhirnya ko’it deh. Ormasnya koit, big imam-nya sekarang sesak napas. *