Jakarta – Indonesia kembali kehilangan salah seorang seniman yang berkarakter, tidak saja berkontribusi pada dunia teater, melainkan juga dunia dilm dan sinetron. Kehilangan itu begitu mendalam bagi yang mengenalnya. “Dorman Borisman merupakan sosok artis yang rendah hati, pendiam dalam keseharian diluar syuting. Namun, ketika sudah masuk suasana ‘take camera’, kesan itu menjadi berubah, begitu intens dan disiplin dalam berperan. Sikap keaktoran inilah yang jadi nilai plus beliau dalam bekerjasama dengan kami, Warkop Dono, Kasino, Indro (DKI)”, kata Indro.
Pengalaman ini disampaikannya mewakili personil Warkop DKI, dalam acara “40 hari Berpulangnya Dorman Borisman” di Gelanggang Remaja Jakarta Timur, jalan Otista 121, Jakarta Timur, Sabtu, 15 Juni lalu. Indro menyampaikan pendapatnya selain Soultan Saladin, Sudibyanto, Jose Rizal Manua, Iwan Burnani. Adanoula pembacaan puisi oleh Nendra WD, Dindon WS, dan Syamsudin Nawawi. sejumlah teman, sahabat lainnya memberikan kesan mendalam terhadap beliau. Kemeriahan acara tersebut dilengkapi pula dengan monolog (oleh Zoebir Mustaqim, Chamdy Polos, dan aktris berbakat Iin), serta ‘teater pendek nan spontan’ (atau biasa dikenal dengan performing art) oleh grup-grup yang tergabung dalam Ikatamur.
Acara ini terselenggara berkat beberapa aktivis Gelanggang Remaja Jakarta Timur dulu (yang membentuk asosiasi Ikatamur tahun 1980) dalam merespon “lesunya” kegiatan pertemuan seniman teater dan film saat ini.
“Salah satu niatan acara ini adalah mencoba mengenang jasa-jasa beliau, atau membaca kontribusi beliau selama kurang lebih 50 tahun berkesenian. Sudah selayaknya aktor legendaris beliau dirayakan seperti ini,” urai Bambang Oeban, ketua panitia. Tidak berlebihan bila melihat respon yang luar biasa, lanjutnya, peristiwa hari ini sebagai pemersatu seniman teater lintas generasi, yang akan meneruskan kegiatan yang “lebih matang” di ivent berikut.
Seluruh penampil dari angkatan 70-an (Sudibyanto dengan Sanggar Teater Jakarta), angkatan 80-an (Diding Boneng dengan Teater Rama, Dindon WS dengan Teater Kubur), angkatan 90-an (Syahriwil dan Purwanto dengan Teater Trotoar, juga Zoebir dengan Mata Art Community), hingga era 2000-an (Remon Ghazaly dengan Kelompok Sandiwara Mantaka). Artinya, semua menunjukkan peeaatuan dari lintas generasi seniman teater, di Jakarta Timur.
“Kepada para aktivis yang terlibat, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, semua berjalan cujup baik, sesuai rencana. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari tauladan yang sudah belau berikan”, ujar seniman serba bisa ini.