beritaenam.com, Jakarta – Ekonom Faisal Basri mengakui utang yang dilakukan pemerintah bukan merupakan tindakan yang salah. Demi memanfaatkan potensi pertumbuhan ekonomi agar lebih maksimal, wajar bagi sebuah negara menarik utang dari dalam maupun luar negeri.
“Dengan cara ini negara tersebut akan dapat tumbuh lebih pesat,” kata Faisal, dalam orasi kebudayaan kampanye ekonomi 2019 yang diprakarsai oleh Kumpulan Alumni Fakultas Ekonomi UI, di Soehana Hall, Energy Building, Jakarta Selatan, Kamis, 11 April 2019.
Dirinya mengibaratkan utang pemerintah dengan utang pribadi per orang. Misalnya ada seorang karyawan yang ingin membuka usaha namun tidak memiliki cukup modal untuk merealisasikan keinginannya tersebut.
Kemudian dia berutang pada bank untuk memodali usahanya tersebut dan nantinya dia akan mendapatkan keuntungan atau hasil dari usahanya.
Faisal mengatakan selama peningkatan pendapatan lebih besar dari pembayaran bunga dan cicilan maka berutang tidak akan menjadi masalah.
Misalnya, lanjutnya, seseorang yang punya utang Rp10 juta namun ia punya penghasilan Rp20 juta, tentu lebih baik ketimbang orang lain yang utangnya Rp1 juta tetapi penghasilannya cuma Rp500 ribu.
“Jadi yang dilihat jangan hanya jumlah utang, melainkan juga tambahan pendapatan yang tercipta,” tutur Faisal.
Dia menambahkan untuk sebuah negara yang notabennya sedang giat membangun, sulit menghindari utang. Apalagi Indonesia saat ini tengah gencar dalam membangun infrastruktur.
Menurut Faisal selama utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif dan bukan konsumtif maka tidak masalah.
Baca juga: Pengusaha Puji Kinerja Ekonomi di Era Jokowi
Namun tentu jumlahnya harus disesuaikan dengan kebutuhan pendanaan riil dan kemampuan untuk membayarnya kembali.
Adapuh jumlah utang Pemerintah Indonesia sekarang ini sebesar Rp4.499 triliun, sementara Produk Domestik Bruto (PDB) menurut harga berlaku pada 2018 sebesar Rp14.837 triliun.
Dengan kondisi itu, Faisal menilai, jelas utang pemerintah masih berada dalam batas aman, karena nisbah utang atau rasio utang terhadap PBD tergolong sangat rendah, yakni hanya 30 persen dan masih separuh dari batas maksimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang No17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Bahkan, tambahnya, Undang-Undang tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimal tiga persen dari PDB, sehingga pemerintah tidak bisa ugal-ugalan berutang.
“Jadi jelas kiranya bahwa utang produktif adalah sesuatu yang positif, bukan nista atau najis sehingga harus dijauhi dengan risiko apapun,” pungkasnya.