[ad_1]
Umat beragama minoritas di Indonesia, seperti Baha’i atau agama lokal, perlu memperoleh tempat dalam ruang membangun kerukunan. Secara formal, salah satunya adalah melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), organisasi resmi yang difasilitasi oleh pemerintah. Tujuan pemberian ruang ini adalah agar mereka dapat duduk bersama dan sejajar, dalam membincangkan isu-isu terkait hubungan antaragama di Indonesia.
Usulan ini disampaikan peneliti Andreas Harsono dalam diskusi daring bertajuk “Mencari Makna Minoritas di Tengah Mayoritas.” Diskusi diselenggarakan Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, Jumat (18/9) malam. Memasukkan kelompok agama minoritas dalam FKUB penting, selama ini pengurus FKUB terbatas pada enam agama yang diakui negara, dan disusun proporsional menurut jumlah pemeluk agama di wilayah tertentu.
“FKUB ini, di kabupaten dan provinsi masing-masing dibuat 17 dan 21 orang, harus “proporsional” dengan keagamaan yang ada di masing-masing daerah. Sehingga kalau ada voting soal rumah ibadah, ya kalah yang minoritas, belum lagi yang tidak masuk di dalam enam agama itu,” kata Andreas
FKUB dibentuk dengan dasar Peraturan Bersama Menteri (PBM) nomor 9 dan 8 tahun 2006, dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri yang terlibat. Susunan pengurus proporsional, seperti yang disebut Andreas, adalah bahwa agama yang pemeluknya mayoritas akan memperoleh jatah pengurus lebih banyak. Di Jakarta, misalnya, pengurus FKUB didominasi oleh tokoh muslim, sedangkan di Bali mayoritas tokoh Hindu.
Selain PBM ini, Andreas juga menyebut pasal penodaan agama yang ditetapkan di era Sukarno melalui PNPS Nomor 1 tahun 1965, sebagai dasar hukum yang merugikan minoritas di Indonesia. Kedua aturan ini harus ditinjau bersama dengan semua aturan turunannya.
Andreas juga mencatat, kasus hukum terkait penodaan agama belakangan terus naik drastis. Dalam periode 40 tahun sejak 1965 ketika PNPS ditetapkan, hanya ada 10 orang masuk penjara karena pasal penodaan agama. Angkanya meroket menjadi 125 orang dalam 10 tahun pemerintahan SBY. Sedangkan era Jokowi, yang baru berjalan 6 tahun, sudah menelan korban setidaknya 70 orang.
Mewakili Suara Tak Tersuarakan
Peneliti Utama LIPI, Prof Ahmad Najib Burhadi setuju dengan usulan untuk memasukkan kelompok agama minoritas ke dalam lembaga seperti FKUB. Tidak hanya perlu beragam secara keagamaan, pengurus FKUB juga harus beragam dalam usia, karena selama ini lembaga tersebut diisi mereka yang sudah senior.
“Saya membayangkan mestinya memang ada perwakilan dari suara yang tidak tersuarakan dan tidak terwakili ini. Tidak harus semuanya, tetapi paling tidak ada disenting kalau enggak bisa dikatakan sebagai sebuah warna yang berbeda. Tetapi yang berbeda dari mainstream yang ada itu di dalam setiap kelompok, sehingga mereka bisa terwakili,” papar Najib.
Najib menambahkan, dalam sejumlah pengamatan langsung di Medan dan Yogyakarta misalnya, dia menemukan bahwa apa yang ada di FKUB mencerminkan apa yang ada di MUI saat ini. Di MUI, sebagian kecil ulama dari kelompok konservatif bersuara lebih kencang dari mereka yang beraliran liberal. Akibatnya, suara mereka seolah mewakili suara MUI.
Dalam kasus FKUB, meskipun ada perwakilan organisasi moderat di dalamnya, kata Najib, tetapi tokoh yang didudukkan oleh organisasi itu, seperti NU dan Muhammadiyah, adalah mereka yang juga lebih cenderung konservatif.
Secara umum, Najib yang menjadi pembicara dalam diskusi ini menilai, penganut agama minoritas memang masih mengalami banyak diskriminasi di Indonesia. Persoalan yang sama ini muncul sejak Indonesia merdeka. Hanya dalam kepentingan tertentu saja, mereka seolah dirangkul, tetapi tetap saja suaranya tidak didengar.
“Kalau umpamanya di dalam Pemilu, di dalam Pilkada, mereka bahkan mungkin dicari-cari untuk mencoblos dan sebagainya. Tetapi setelah itu, suara mereka seringkali diabaikan atau tidak didengarkan,” kata Najib.
Problem minoritas di Indonesia, kata Najib, tidak hanya terjadi antaragama, tetapi juga di internal agama yang sama. Di Papua misalnya, kelompok GIDI cenderung tidak mau menerima kehadiran Kristen dari denominasi yang berbeda. Di Aceh, Muhammadiyah juga kadang kesulitan mendirikan masjid karena penolakan dari kelompok Islam yang lain.
Akomodasi Skala Kecil
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Dr Nifasri, mengaku secara umum apa yang dikeluhkan terkait FKUB memang benar. Namun, di sejumlah daerah telah muncul inisiatif untuk mengakomodasi kelompok agama minoritas dalam kepengurusannya.
“Di beberapa tempat itu sudah ada, misalnya di Sulawesi Utara. Saya baru pulang dari Manado, bertemu dengan seluruh FKUB kabupaten dan kota, mereka juga sudah melibatkan dari penghayat kepercayaan. Bahkan di Manado itu kan ada rumah ibadah Yahudi di sana. Mudah-mudahan dicontoh juga nanti oleh provinsi lain,” ujar Nifasri.
Pemerintah, lanjut Nifasri juga sedang berupaya meningkatkan kelembagaan FKUB hingga ke desa-desa. Pendekatan yang diterapkan juga diharapkan berbeda. Saat ini, ibarat pemadam kebakaran, FKUB hanya terdengar perannya ketika sudah ada masalah. Seharusnya FKUB turut membangun kerukunan umat dan menyelesaikan masalah kerukunan sedini mungkin.
FKUB juga seharusnya diisi cukup banyak tokoh muda, tidak seperti sekarang ini yang mayoritas pengurusnya sudah berusia tua. Tokoh agama muda harus diberi tempat, dengan tetap mangkomodasi sedikit tokoh senior. Perempuan juga harus memiliki porsi cukup dalam kepengurusan FKUB di masa mendatang. Untuk semua inisiatif ini, diperlukan perubahan regulasi. Kementerian Agama, lanjut Nifasri, akan mengupayakan hal itu.
Dosen Universitas Indonesia, Dr Amanah Nurish setuju dengan wacana perombakan FKUB seperti dipaparkan di atas. Begitu pula tengan Dr Soesiana Tri Ekawati, dari Kantor Humas dan Pemerintahan, Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia dan Nia Syarifudin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI). [ns/ab]
[ad_2]
Source link