SUATU malam, seorang laki-laki berusia 42 tahun mengalami nyeri dada disertai keringat dingin. Ia pun dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD).
Pemeriksaan awal menunjukkan dia terkena serangan jantung. Dua pilihan terapi ditawarkan, pemasangan ring jantung atau terapi infus pengencer darah.
Namun, keluarga menolak. Dengan alasan, dulu pernah ada anggota keluarga lain pernah kena serangan jantung, bisa pulih tanpa pasang ring.
Tak berapa lama, pasien tiba-tiba tak sadar, jantungnya berhenti berdenyut. Beruntung, tindakan resusitasi bisa mengembalikan denyutnya. Kejadian itu berulang sampai dua kali.
Akhirnya, keluarga memutuskan untuk dilakukan pemasangan ring. Setelah dirawat lima hari, pasien pun bisa pulang.
Ia patuh kontrol ke dokter secara berkala. Lebih dari itu, dia berhasil berhenti merokok, menurunkan berat badan, dan patuh mengonsumsi obat. Laki-laki yang berprofesi sebagai pengacara itu pun bisa aktif bekerja lagi.
Laki-laki lain, seorang eksekutif super sibuk berusia 52 tahun, punya kebiasaan merokok 2-3 bungkus sehari. Pada Juni 2019 ia terkena serangan jantung.
Setelah dipasang ring, ia bisa beraktivitas, tapi masih merokok dan jarang kontrol ke dokter. Hingga pada Februari 2020, ia merasa cepat lelah, sering sesak napas, kedua tungkai membengkak. Mandi pun ngos-ngosan, tidur pun selalu gelisah dan sering bangun karena terbatuk.
Hasil pemeriksaan menunjukkan, jantungnya bengkak dengan daya pompa tersisa 20%-25%. Ada penumpukan cairan ditubuh, ginjalnya terganggu.
Dengan diagnosis gagal jantung, dia harus mengonsumsi kombinasi tujuh macam obat, kontrol tiap 2-3 minggu, minum dibatasi, diet diatur, harus istirahat dan setop merokok.
Awalnya, pasien depresi, terutama karena harus berhenti bekerja. Seiring waktu, ia merasa ada perbaikan namun tak bisa seaktif dulu. Setelah berdiskusi dengan tim dokter, diputuskan ia dipasang alat pacu jantung, CRT, yang dikhususkan untuk kasus bengkak jantung.
Dua bulan setelah pemasangan CRT, pasien menunjukkan perkembangan luar biasa. Keluhan minimal, bisa kembali aktif meski tidak bisa kembali ke pekerjaannya yang dulu. Satu hal positif lainnya, ia menjadi ‘dua antirokok’, getol mengingatkan bahaya merokok.
Itulah dua kisah pasien yang pernah ditangani Siloam Heart Institute (SHI), Jakarta.
Kedua kisah itu ditunjukkan oleh dokter-dokter SHI pada webinar yang digelar Siloam Hospitals kebon Jeruk, Jakarta dalam rangka memeringati Hari Jantung Sedunia, baru-baru ini.
Terselip pesan, terapkan gaya hidup sehat untuk mencegah dan mengatasi sakit jantung.
Dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah SHI, dr Antono Sutandar SpJP, menjelaskan, berdasarkan Interheart Study, kolesterol tinggi, merokok, dan stres merupakan tiga faktor risiko utama penyakit jantung berdasarkan.
Faktor risiko tersebut sejatinya bisa ditekan, yakni dengan menerapkan gaya hidup sehat. “Gaya hidup sehat saja bisa mencegah 50-60 persen kasus penyakit jantung,” ujarnya.
Apa saja yang tercakup dalam gaya hidup sehat tersebut? Pertama, terang dr Antono, jangan merokok. Lalu, terapkan diet Pancasila.
Dalam diet ini, kita harus menghindari konsumsi gula murni termasuk sirup, soft drink, dan es krim, hindari produk tepung terigu, jus buah manis, gorengan, dan batasi produk hewani maksimal ¼ piring, maksimal sekali sehari.
Kemudian, lakukan olahraga 30 menit sehari, lima kali seminggu. Saat olahraga, pastikan denyut jantung per menit 50%-70% dari denyut jantung maksimal.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan rumus 220 dikurangi usia (tahun). Contoh olahraga yang memenuhi persyaratan ini misalnya, jalan cepat, jogging, dan berenang.
Lalu, langkah selanjutnya ialah mengontrol berat badan agar tetap dalam kisaran normal. Terakhir, kelola stres, jangan sampai kita terlarut hingga mengarah ke depresi.
Dokter Antono menambahkan, paradigma soal sakit jantung yang selama ini ada di masyarakat adalah dokter, tenaga medis, dan alat-alat canggih di ruang tindakan yang mampu menyembuhkan pasien. Namun, SHI membuat perspektif yang berbeda.
“Kami di sini sebagai ‘advisor’ dan pasien sebagai ‘hero’. Kami membantu mengarahkan dengan kompetensi dan empati, sedangkan pasien sendirilah yang akhirnya memilih dan menentukan bagaimana cara bisa hidup berkualitas kembali,” jelas dr Antono.
Tentunya kerja tim antara pasien dan rumah sakit harus selalu didukung oleh tim multidisiplin dengan teknologi yang terkini untuk dapat menghadirkan layanan komprehensif.
Layanan itu seperti pemasangan ring, LAA Closure, Ablasi, CABG, penggantian katup baik melalui pembedahan maupun melalui kateter, dan penanganan kasus jantung anak.
“Jika Anda memerlukan pelayanan medis lanjutan untuk kasus jantung, janganlah menunda. Kami menerapkan serangkaian protokol kesehatan untuk memastikan keselamatan Anda dan kami di masa pandemi Covid-19 ini,” imbuh dr Maizul Anwar SpBTKV pada kesempatan sama.