Salah satu imajinasi seabad negeri tahun 2045 adalah ketika mobil listrik lalu-lalang di jalan raya menjadi pemandangan biasa.
Seabad kemerdekaan, kita membayangkan adanya “revolusi” besar di bidang transportasi ketika mobil listrik menjadi faktor penting dalam mobilitas warga.
Moda transportasi bukan sekadar kemudahan dalam bergerak, tapi juga menjadi penanda peradaban.
Seperti bunyi pepatah Perancis, L’Histoire se Répète, pada awal Abad 20, negeri kita sudah kedatangan kendaraan roda empat yang berjalan tanpa ditarik oleh kuda.
Dalam sejarahnya, kehadiran mobil telah memicu dinamika di sektor lain, seperti pendidikan, pengetahuan, gaya hidup, bisnis, dan seterusnya.
Mungkinkah keberadaan mobil listrik akan memberi stimulus yang sama seperti mobil di abad yang telah lewat?
Meski sifatnya masih proyeksi, kita perlu optimis melihat peluang pengembangan mobil listrik, karena sejak dulu masyarakat kita selalu update terkait elemen modernitas khususnya moda transportasi. Kemunculan mobil listrik akan mendapat sambutan positif dari masyarakat.
Dalam soal timeline penggunaan mobil listrik, kita bisa mengambil contoh perbandingan dari Eropa.
Pada 2040 di hampir seluruh negara Eropa, kendaraan berbahan bakar fosil (BBM) akan dilarang. Bahkan target Belanda dan Norwegia lebih progresif, tahun 2025 menjadi tenggat waktu penjualan kendaraan pemapar emisi karbon.
Harga dan Gaya hidup
Masalah utama mobil listrik saat ini adalah soal harga yang relatif masih tinggi untuk ukuran rata-rata konsumen Indonesia. Sebut saja mobil listrik produksi Korea Selatan, merk Hyundai, dalam iklan yang sudah beredar dipatok dengan harga kisaran Rp 600 juta per unit.
Sementara segmen terbesar konsumen otomotif Indonesia, sekitar 60 persen adalah mereka yang mencari mobil dengan harga di bawah Rp 300 juta per unit.
Untuk itu perlu sinergi kebijakan antar kementerian dan lembaga agar menciptakan atmosfer kondusif. Misalnya, Kemenkeu bisa mengambil peran dengan menjanjikan insentif pajak bagi para calon pembeli mobil listrik.
Keringanan pajak merupakan stimulus agar mobil listrik cepat dilirik konsumen. Bisa juga berupa afirmasi, ketika ada kewajiban kendaraan dinas di kantor kementerian atau lembaga mulai mempercepat transisinya untuk menggunakan mobil listrik.
Dari segi gaya hidup, masyarakat kita sudah cukup siap merespons mobil listrik (electric vehicle, EV), khususnya bagi kelas menengah perkotaan.
Berdasarkan tren kesadaran soal udara bersih, keberadaan EV akan mendorong pengurangan emisi karbon. Mobil listrik tidak mengeluarkan karbon (asap knalpot) seperti mobil dengan energi fosil.
Masyarakat kita juga terbukti cepat dalam adaptasi tren global. Ketika mobil merk Ford dirilis di awal abad 20, hanya dalam beberapa tahun beberapa unitnya sudah menjelajah jalanan tanah jajahan Hindia Belanda.
Sejumlah figur publik seperti Paku Buwono X (Sultan Surakarta) atau Oei Tiong Ham (Raja Gula), tercatat sebagai pemilik awal mobil tersebut.
Peran PLN
Sebagai leading sektor energi listrik, keterlibatan PLN dalam pengembangan mobil lisrik, telah memelopori pembangunan sejumlah SPKLU (stasiun pengisian kendaraan listrik umum), yang salah satunya terletak di kantor pusat PLN.
Pendirian SPKLU untuk mempermudah akses pemilik mobil listrik men-charge baterai mobil listriknya. Di samping SPKLU, ada lagi unit pendukung mobil listrik yang disebut SPBKLU (stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum).
Pengadaan SPKLU dan SPBKLU merupakan implemenasi dari penerbitan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai untuk trasportasi jalan.
Regulasi ini menjadi pendorong bagi pemangku kepentingan untuk akselerasi pemakaian mobil listrik.
Dalam konteks ini, pertengahan Agustus lalu, tiga BUMN sepakat menjalin kerja sama yakni PLN, Pertamina, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Kerja sama ini sebagai bentuk respons kelembagaan dalam transisi menuju EV.
Inalum akan bergerak di sektor hulu, terkait potensi nikel dan kobalt sebagai bahan baku utama baterai listrik.
Sementara PLN akan fokus di hilir sebagai distributor yang langsung berhubungan dengan pengguna. Pertamina berada di tengah-tengah dalam proses itu.
Dukungan kelembagaan juga disampaikan Menristek Bambang Brodjonegoro, yang menyampaikan mobil listrik masuk dalam Prioritas Riset Nasional (PRN).
Dukungan regulasi dan kelembagaan pada akhirnya bermuara pada kepentingan konsumen EV, utamanya soal harga yang kompetitif dan kemudahan akses memperoleh baterai mobil listrik.
Dalam soal hilirisasi EV dan baterai, PLN dalam posisi strategis, berada dalam ruang yang berhubungan dengan pengguna.
Pemain Global
Ada optimisme harga mobil listrik akan semakin kompetitif ke depan. Dalam satuan harga mobil listrik, harga baterai mencakup sepertiganya. Semisal harga mobil listrik Rp 600 juta, berarti harga baterainya kisaran Rp 200 juta.
Artinya kalau harga baterai bisa ditekan, harga mobil listik akan ikut turun. Kerja sama PLN bersama Pertamina dan Inalum, bisa dibaca dalam semangat agar harga mobil listrik semakin ekonomis.
Pengembangan kendaraan listrik di Indonesia harus diperkuat dengan pembangunan industri baterai di dalam negeri.
Ada empat unsur logam sebagai komponen baterai kedaraan listrik, salah satunya adalah nikel yang melimpah, khususnya di Morowali (Sulteng), Konawe (Sultra), dan Halmahera (Malut).
Keberadaan kandungan nikel menjadi modal signifikan pembangunan industri baterai listrik di Indonesia.
Selain nikel, ada tiga unsur logam lain sebagai komponen baterai, yaitu kobalt, mangan dan lithium. Dari keempat logam tersebut, yang saat ini belum tersedia di Indonesia, adalah lithium.
Dua jenis baterai keluaran perusahaan dari China, yaitu Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL), bisa menjelaskan soal komposisi logam tersebut.
Pertama adalah baterai Lithium Nickel Cobalt Mangan (NCM) 811, merk baterai ini sekaligus menjelaskan komposisi logamnya: 80 persen nikel, 10 persen kobalt, dan 10 persen mangan.
Kedua adalah baterai NCM 523, dengan komposisi hampir sama: 50 persen nikel, 20 persen kobalt, dan 30 persen mangan. NCM 811 adalah versi yang lebih baru dari NCM 523, terlihat kandungan nikelnya lebih tinggi.
Di Indonesia belum ditemukan ceruk potensial bijih lithium, masih pada fase indikasi dan penelitian. Namun untuk nikel dan kobalt, Indonesia adalah salah satu negara dengan cadangan terbesar di dunia, termasuk mangan, yang tersebar di wilayah NTT.
Dengan potensi pasar mobil listrik, disertai cadangan nikel dan kobalt yang melimpah, kita boleh optimis, dalam lima atau sepuluh tahun mendatang, Indonesia akan menjadi pemain global yang memiliki posisi menentukan dalam industri baterai dan mobil listrik.