BERITAENAM.com — Di Facebook banyak iklan properti hunian baru dan commercial business building.
Image-nya seakan bisnis properti sedang bangkit, market bergairah. Itu lah yang tengah digembar-gemborkan. Spirit optimisme.
Namun, optimisme juga jangan kebablasan dong — yang bertolakbelakang dari realitas kondisi kualitatif market.
Hhmmm..
Padahal yang mayoritas belanja itu property players alias spekulan.
Hanya semarak geliat gimmick saja. Ini lah yang disebut pasar semu — yang mega risikonya bisa sampai pada titik akumulasi kredit macet, macam masa krismon dulu. Ngeri kalii bah..
Di mana para investor proyek (primer) maupun investor spekulan (sekunder) tidak bisa atau kesulitan melanjutkan kewajibannya mencicil kepada bank. Semua lantaran real market nyaris mati suri.
Pasalnya, end user (konsumen nyata) lagi fokus memikirkan yang pokok buat makan, gizi, sport mendadak hobi karena pandemi, bayar listrik, gas, internet, BBM, biaya tinggi perawatan rumah-kendaraan, pendidikan anak dan kesehatan.
Belum lagi biaya tradisi-tradisi keluarga dan lingkungan tempat tinggal yang juga menguras duit, lho.
Sedangkan grafik income masyarakat melandai bahkan condong anjlok.
Bagaimana tidak toh, banyak perusahaan besar memperketat efisiensi biaya modal kerja maupun gaji/upah kerja dan mengurangi SDM yang bisa digantikan oleh teknologi 4.0.
Di sektor usaha UMKM pun menghadapi tekanan kenaikan harga-harga pasca natal dan tahun baru. Sehingga harga jual dinaikan. Dilemanya, daya beli lagi melemah — bahkan lebih baik masak di rumah.
Supply and real demand memang bisa berimbang jika di luar wilayah Jabodetabek dan kota besar utama lainnya, karena di luar daerah itu tidak banyak developer yang berani spekulasi investasi proyek lantaran sepinya market spekulan.
Note ;
Demikian pengamatan kualitatif saya. Terbuka untuk didiskusikan lebih mendalam.
#SalamPrihatin