[ad_1]
Ganjar mengaku memperoleh sejumlah laporan dari daerah mengenai upaya para orang tua meminta dispensasi menikah. Ijin ini dibutuhkan bagi mereka yang ingin menikah tetapi belum mencapai usia sesuai syarat resmi. Pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat terus dilakukan, tetapi menurut Ganjar, upaya ke birokrasi juga tidak bisa diabaikan.
“Kementerian Agama juga sudah kita ajak bicara, agar jangan dikasih toleransi dulu, agar kemudian kesehatan reproduksinya ini betul-betul kita edukasi. Kita siapkan mereka agar sangat paham pada soal ini,” kata Ganjar.
Persoalan stunting ini dibahas khusus pada diskusi bertajuk “Respon Pemerintah dalam Upaya Percepatan Penurunan Stunting Pasca Pandemi Covid-19 di Jawa Tengah”. Diskusi diselenggarakan Puslitkes LPPM Universitas Diponegoro Semarang, dengan dukungan UNICEF pada Selasa (22/9).
Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada anak. Penderita gangguan ini memiliki tinggi badan yang lebih pendek atau kerdil berdasarkan standar usianya. Kondisi serius ini terjadi, karena anak tidak mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat, dalam waktu yang lama atau kronik. Secara nasional, stunting berkontribusi terhadap 15-17 persen dari total kematian anak.
Ganjar memaparkan, data di Jawa Tengah hingga Februari 2020, ada 156.549 balita mengalami stunting. Data itu merupakan hasil rekap anak berdasarkan status gizi, dari pengukuran terhadap 1.074.641 balita di Jawa Tengah.
Penyebab Stunting Beragam
Penyebab dominan dalam kasus Jawa Tengah, lanjut Ganjar adalah kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan. Selain itu, 60 persen anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pengganti ASI.
Dari sisi ibu, diketahui bahwa 1 dari 3 ibu hamil di Jawa Tengah mengalami anemia dan kurang mampu mengakses makanan bergizi. Intervensi sudah dilakukan, antara lain dengan pemberian secara rutin suplemen sejak remaja untuk mengatasi anemia. Sedangkan akses terhadap makanan bergizi dipermudah dengan intervensi langsung pemerintah. Provinsi ini juga memiliki program khusus bernama “Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng”, yang bermakna Jawa Tengah memberi perhatian khusus kepada ibu hamil.
Problem lain, kata Ganjar, terkait lingkungan
“Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Dimana satu dari lima rumah tangga masih buang air besar di ruang terbuka. Juga satu dari tiga rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih, ini tanggung jawab pemerintah,” tambah Ganjar.
Kaitan antara pernikahan dini dan kasus stunting di Jawa Tengah juga menjadi bahan penelitian Nuryanto, dosen dan peneliti dari Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang. Dia mengelompokkan pernikahan dini di usia antara 14-15 tahun dan 16-17 tahun, kemudian membandingkan kasus stunting pada balita di kedua kelompok itu.
“Hasil kajian kami, di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, ternyata Ibu yang menikah pada usia lebih dini yaitu 14-15 tahun dibanding 16-17 tahun itu terjadinya stunting lebih tinggi pada ibu yang menikah dini,” kata Nuryanto.
Dirinci oleh Nuryanto, pada kelompok pernikahan dini usia 14-15 tahun, ada kasus stunting sebanyak 43,5 persen. Sedangkan pada kelompok kedua, yaitu mereka yang menikah pada usia 16-17 tahun, angka stunting tercatat 22,4 persen.
Kasus stunting juga didorong oleh pemberian makanan pengganti ASI yang kekurangan protein, seperti ikan atau telur. Banyak ibu yang memberi makan kepada balita dengan sayur bayam, tetapi hanya nasi dan kuahnya yang akhirnya dikonsumsi. Kasus-kasus semacam itu banyak sekali terjadi, sehingga stunting sulit diatasi.
Pemberian ASI eksklusif sesuai standar juga rendah di Jawa Tengah. Provinsi ini memiliki 29 kabupaten dan enam kota, tetapi hanya satu kabupaten saja yang pemberian ASI eksklusif ada di atas 50 persen. Dari penelitian, kata Nuryanto, terbukti pada kabupaten yang pemberian ASI lebih dari 50 persen, yaitu Banjarnegara, angka stuntingnya paling rendah.
Pestisida Memberi Dampak
Penelitian dari tim Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro juga menemukan fakta, bahwa stunting dipengaruhi oleh paparan pestisida pada petani.
Selama ini, faktor lingkungan terhadap gangguan tumbuh-kembang anak hanya dikaitkan dengan infeksi, terutama infeksi saluran cerna atau diare dan infeksi saluran pernafasan (Ispa). Akibatnya, program pengendalian dari aspek lingkungan hanya fokus pada perbaikan sanitasi lingkungan.
Padahal, pajanan atau eksposur bahan toksik di lingkungan dalam dosis rendah namun jangka panjang juga berdampak negatif.
“Selain masalah asupan zat gizi yang kurang dan infeksi, pajanan bahan toksik dari lingkungan antara lain pestisida, patut diduga sebagai ‘penyebab’ atau faktor risiko kejadian stunting,” kata Suhartono, mewakili tim peneliti Undip.
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Brebes memberikan bukti. Brebes adalah daerah pertanian bawang merah dengan tingkat penggunaan pestisida tertinggi di Indonesia. Angka kejadian stunting di Brebes mencapai 40,7 persen, dan merupakan yang tertinggi di Jawa Tengah menurut Riskesdas 2013.
Data menyebutkan pajanan pestisida dapat mengganggu fungsi hormon yang berperan dalam pertumbuhan. Perempuan yang memiliki riwayat pajanan pestisida, mempunyai risiko 3,3 kali lipat menderita hipotiroidisme. Kasus ini menyebabkan janin akan mengalami gangguan pertumbuhan.
Sementara itu, anak dengan riwayat pajanan pestisida mempunyai risiko 6,8 kali lebih besar menderita gondok dan 3,9 kali lipat lebih besar kemungkinannya mengalami stunting.
Dikatakan Suhartono, pajanan pestisida dapat menyebabkan stunting karena masuk ke dalam tubuh melalui kulit, saluran pernafasan, maupun mulut. Dampak lanjutannya, muncul gangguan terhadap fungsi hormon pertumbuhan, dan terjadi stress oksidatif. Akan terjadi gangguan penyerapan bahan makanan di saluran cerna dan berlanjut pada gangguan pertumbuhan atau stunting. [ns/ab]
[ad_2]
Source link