[ad_1]
Bila kita mengunjungi Toko Buku Maranatha di Kecamatan Regol, Kota Bandung, kita mungkin mengiranya sebagai toko buku biasa. Namun siapa sangka, toko buku ini adalah primadona komik asli Indonesia pada era 1970 hingga 1980-an.
Di toko ini, ratusan edisi komik dipajang di belasan rak besi yang, meski sedikit berdebu, tetap merekam kejayaan beberapa dekade lalu.
Anda akan bertemu dengan Herlina, 83 tahun, yang dengan senang hati mengisahkan masa emas komik Indonesia.
“Aduh disukai sekali komik-komik itu. Seneng gitu kita menerbitkannya, karena dibeli sama orang. Orang Indonesia tuh suka (komik),” kisahnya ketika dijumpai baru-baru ini.
Toko Buku Maranatha didirikan mendiang suami, Marcus Hadi, pada dekade 60-an. Pria yang disapa Om Kus itu gemar melukis dan awalnya membuat komik cerita rakyat.
“Dia tuh ingin coba-coba melukis gitu, terus melukisnya cerita rakyat gitu, seperti Malin Kundang, Tangkuban Parahu,” jelasnya.
Tak disangka, karya Om Kus langsung menyita perhatian masyarakat. Toko Buku Maranatha pun berdiri dan merekrut banyak komikus. Bahkan komikus sekaliber RA Kosasih menerbitkan komik legendaris Mahabaratha lewat TB Maranatha.
Pada 70-an, TB Maranatha membentangkan sayap lebar. Mulai dari komik cerita rakyat, pahlawan super Indonesia, sampai kisah pewayangan—semua laris manis dilahap pembaca. Bahkan, pada puncak kejayaan toko ini, tiga komik baru terbit setiap minggu dan dicetak masing-masing 2.000 eksemplar.
Herlina menceritakan, permintaan datang dari banyak taman baca di kota-kota di Jawa Barat, seperti Sumedang, Cirebon, Garut, hingga Tasikmalaya. Jakarta, dan Bali pun tidak mau ketinggalan.
“Dulu tuh taman bacaan ada yang dipikul, ada rumahan, di mana-mana tuh taman bacaan banyak. Kalau taman bacaan ngambil buku tuh, kalau misalnya keluar yang baru tuh, sekali ngambil lima,” terangnya lagi.
Saking larisnya komik pada zaman itu, pelukisnya mampu membeli tiga rumah sekaligus.
Kehadiran Komik Jepang Ubah Situasi
Namun semua berubah pada dekade 90-an ketika komik Jepang masuk dan banyak stasiun televisi bermunculan. Menurut Herlina, seiring dengan banyaknya pilihan hiburan, minat masyarakat terhadap komik pun berkurang.
“Sekarang dihantam komik-komik Jepang, terus di Youtube juga banyak, di internet banyak (hiburan) sekarang, ya dimaklum lah, mungkin masanya sudah berlalu,” kisahnya lirih.
Tahun demi tahun, pegawai TB Maranatha pun berkurang. Dari yang dulu 17 pegawai, kini hanya tiga orang. Komik memang masih dicetak, tapi hanya satu judul lama dan hanya beberapa minggu sekali.
Pembelian komik tidak seramai dulu, ujar Herlina, hanya kolektor dan orang bernostalgia yang datang membelinya. Penghasilan toko pun lebih besar didapatkan dari jasa fotokopi, dan penjualan ATK.
Ketika mendiang suami meninggal dunia pada 90-an, Herlina berharap anak-anaknya mau meneruskan toko bersejarah ini. Namun anak-anak Herlina menekuni jalan masing-masing.
“Yang lain-lain kan ini dokter gigi, ada yang di bank, jadi lain-lain arahnya. Ya sudahlah apa adanya saja,” ujarnya.
Di usianya yang tak lagi muda, Herlina berharap komiknya kembali diminati masyarakat. Apalagi, kata dia, komik Indonesia lebih kental dengan nilai-nilai kehidupan.
“Saya ingin anak muda suka baca lagi aja. Kayak jaman dulu mah suka baca. Sekarang mah nggak mau pada baca, semua ada di Youtube, semua ada di Youtube. Jadi semua serba salah ya…” [rt/em]
[ad_2]
Source link