Milenial males dicekoki berita, tapi senang transaksi jual beli. Tanpa perlu lagi pihak perantara, mediator, atau makelar. Mereka lebih senang nonton. Semaunya sendiri, memilih yang disenangi, males baca.
Lebih senang “main” IG, nonton Youtube, Instastories atau film, memantau netflix, Hooq, iflix dan main game.
Seorang jurnalis majalah terkemuka kuatir dan mengeluh, karena majalah cetaknya, yang bertransformasi ke digital demikian masif beredar di medsos. Ia kuatir, perusahaannya bangkrut gara-gara PDF majalahnya sudah tersebar dan perusahaannya tak ada pemasukan dari e-magazine-nya itu.
Koran versi cetaknya sudah akan tutup pada 2021 ini. Dari cetak, konsentrasi di koran digital. Sementara majalahnya “dibajak” seenaknya. Racikan tulisan dan laporan versi cetak yang dibuat memang menjadi trending topik. Sementara itu pemasukan tak ada. Pasalnya, PDF yang beredar luas dari medsos. Perusahaannya tak mendapat income.
Di lain sisi, seorang jurnalis senior berpendapat tak perlu kuatirlah. Penghasilan dari PDF tak seberapa dibanding iklan dan pemasukan advertorial serta income dari iklan di website, dari google adsense hingga MGID.
Perusahaan media yang berintegritas itu juga tak akan bangkrut. Justru media massa sekarang, memiliki misi untuk membangkitkan minat baca dengan melakukan promo-promo. Dari diskon 70% hingga Gratis. Asal, membangkitkan minat baca ke generasi yang disebut suka nonton ini.
Itu pun nonton yang mereka mau, media televisi yang menyorong program ini dan itu tak digubris. Hanya mau nonton sesuai selera mereka, liat Youtube atau Neflix dan aplikasi lain. Ini yang membuat pemilik media televisi “meradang” karena pemasang iklan jadi kabur tak mau pasang iklan lagi.
Tak hanya media cetak yang disebut mengalami “senjakala”. Biaya TV yang besar dengan income yang tak seperti dulu lagi, membuat TV “mengakali” program dengan biaya murah. Sekalian saja mereka kerjasama dengan youtuber atau netizen yang punya banyak folowers.
Fenomena generasi malas baca ini ternyata juga “menghantam” media online. “Ogah”-nya kaum muda saat ini, yang enggan membaca, menggeser media online tak lagi sebagai “anak emas” internet. Dewan Pers menyebut, ada sekitar 40 ribu situs berita.
Seorang pakar, Kris Moerwanto bahkan sempat menulis dan menebak peluang eksistensi: ‘Media Baru’, paska tamatnya New Media.
Apa itu?
Kris menyebut, media online sampai pada situasi di tahun 2016 ketika itu, senangnya copy-paste. Ide, aspirasi, informasi, atau data. Semuanya direproduksi, diduplikasi, direplikasi sekaligus dibagi. Bisa diakses secara gratis.
Konsultan media, pengamat teknologi, bahkan para media futurist menganalogikan berita di media online itu seperti mie Ramen Jepang. Sementara berita di Koran atau majalah cetak, diibaratkan hidangan sekelas steak dengan daging pilihan.
Bagaimana di 2021 nanti?
Ternyata akar masalahnya adalah problem monetisasi. Banyak media online atau website yang bergantung pada kepentingan sesaat, atau “tergantung siapa yang bayar” tanpa integritas. Domain murah dan algoritma memungkinkan semua orang mendirikan atau owner media massa.
Sementara itu, model bisnis media online, jualan berita di media online ternyata tidak mudah. Berharap ada penghasilan dari iklan, ternyata tidak gampang. Tapi, bukan berarti sulit-sulit amat.
Masih menurut catatan seorang media digital analis, media online luar negeri saja sudah ada beberapa yang merugi. Raksasa periklanan juga mengumumkan tak akan lagi meneruskan berbisnis di periklanan.
Para behavioral economists, termasuk yang sudah berkali-kali mewanti, bahwa murah, kini semakin dipersepsi sebagai ‘murahan’.
Fenomena banjir inflasi informasi sampah, semakin menyebabkan apresiasi audiens atas kredibilitas berita via media online, semakin merosot.
Itu berdampak ke aspek “perceived quality” dari konten produk. Tren akses murah-murahan (bahkan hampir gratis), berdampak sangat buruk, bagi bisnis berita.
Apalagi media sosial membuat semua orang semacam “wartawan”, bisa memproduksi informasi, berita, gossip, isu, atau pesan.
Perlu dilakukan program semacam ubahlaku, dalam ragam sosialisasi pemerintah. Sehingga roda media digital bisa berjalan dengan sehat.
Pakar komunikasi banyak menyayangkan sikap Dewan Pers yang lamban mengantisipasi keadaan. Harusnya Dewan Pers lebih “proaktif” mendata media digital, bagaimana agar secara bisnis tak mengganggu jalannya roda pembangunan, tapi malah mensuport situasi, misalnya seperti kemarin dalam program “ubah laku”.
Program sosialisasi “ubah laku” dinilai berhasil membuat masyarakat aware dengan situasi darurat, di masa kita menghadapi pandemi virus corona.
Lansekap Media Berubah
Makin maraknya skala penggunaan aplikasi di hampir semua hajat kehidupan.
Hanya audiens yang cerdas mencari berita bermutu. Milenial males dicekoki berita, tapi senang transaksi jual beli. Tanpa perlu lagi pihak perantara, mediator, atau makelar.
Menjadikan periklanan digital, seakan takdir tak akan pernah menjadi revenue stream. Apalagi, jika bisnis medianya tak sekaliber Facebook, atau Google.
Membahas media masa depan, lebih ke informasi yang tepat di waktu, tempat dan di tangan pihak yang tepat, bisa memberikan dampak perubahan yang lebih baik, seperti mengubah kualitas kehidupan.
Fakta di Indonesia menggambarkan itu: ketika akses website digratiskan, yang singgah jumlahnya bisa mencapai jutaan. Tapi begitu diharuskan berbayar, jumlah penyinggahnya langsung drop.
Klik Berita Bayar, Belum Diminati
Jurnalisme berbasis berita yang kini makin bergeser ke cerita, diramal kelak akan menjelma menjadi jurnalisme berbasis data.
Orang lantas ingat dengan adagium ini: bahwa mayoritas (95% keputusan) kita ambil dalam keadaan subconscious mind state. Termasuk, sekadar ikut-ikutan melakukan yang kebanyakan orang lakukan.
Makanya, mayoritas pengguna merasa telah mengambil choice yang tepat. Dengan bersikap ‘percaya saja’ kepada commitment dan integritas pihak ketiga, pengelola keamanan platform.
Media, termasuk personal brand, harus siap-siap ter-disruption. Di-cuekin audiens. Atau mendadak lenyap, digilas perubahan. Peran Media ke depan adalah terkait ‘makna bagi jiwa’.
Karena, masih banyak yang senang membuka lembar majalah seperti halnya membaca buku cetak. Lebih humanis.
Eranya konvergensi, ada cetak dan di online yang gratis – seperti lazimnya produk buatan pabrik.
Online berita ada yang harus bisa diproduksi sebanyak-banyaknya. Atau mengambil segmen, features, dengan target di klik, di setiap pemberiaan adalah ribuan atau jutaan views.
Harus diakui, ternyata minat baca kaum milenial rendah. Kaum milenial lebih senang “main” IG, nonton Youtube, Instastories atau film, memantau netflix, Hooq, iflix dan main game.
Jadi tugas kita adalah menggerakan generasi “yang males baca” dengan tulisan yang membuat mereka tertarik.
Sang jurnalis atau penulis juga harus punya jiwa socialpreneur untuk kebutuhan youtube, sosial media dan promosi.
Dengan demikian, metode work from home tetap saja pemasukan untuk website dan ketrampilannya bisa menjadi income monetisasi pribadi.
Jurnalisnya perlu inovatif, berkembang terus dan tak terpengaruh krisis.
Laiknya “kreator besar”, yang memiliki rencana bisnis matang tentang bagaimana menciptakan dan menyampaikan nilai konten mereka.
Agar tak masuk senjakala, perlu diajarkan teknik “endorsement” dan memperoleh pendapatan di luar sekadar iklan AdSense dari para vendor dan voucher rilis. Nulis tak sekedar nulis, harus tahu juga keyword.
Ini sekedar, catatan “tengah”, bukan catatan “pinggir” lagi. Gimana?, apa masukan Anda?
——————————————————————————————————————-
penulis adalah: Wartawan Utama lulus Uji Kompetensi Dewan Pers. Pemred majalah matra dan matranews.id. Juga CEO majalah eksekutif dan eksekutif.com. Pendiri Supertivi.com, HealthNews dan Pramborsnews.com. Coach di Densus Digital & BNN yang juga seorang socialpreneur.