Kalau implementasi penegakan hukum terhadap perkara penyalahgunaan narkotika menggunakan hukuman penjara, pasti ada misuse dalam proses pemberian sanksi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut.
Pembuat UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mewajibkan pemerintah yakni Penegak Hukum dan Pengemban Fungsi Rehabilitasi untuk merehabilitasi siapa saja yang menjadi penyalah guna narkotika, meskipun menyalahgunaan narkotika dilarang secara pidana.
Tujuan UU narkotika dengan gamblang menyatakan bahwa “menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu”.
Artinya penyalah guna narkotika dijamin UU mendapatkan upaya rehabilitasi agar sembuh dan tidak menjadi penyalah guna lagi.
Penegak hukum, baik Penyidik Kepolisian, Penyidik BNN, Jaksa Penuntut umum dan Hakim diberi kewenangan menempatkan penyalah guna kedalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk sebagai IPWL selama proses pemeriksaan ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. (pasal 13 PP 25/2011).
Hakim diberi kewenangan khusus dapat memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani hukuman rehabilitasi, baik terbukti atau tidak terbukti bersalah (pasal 103/1).
Pasal ini memberi kewenangan mutlak kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi, bila penyalah guna sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika.
Pengemban fungsi rehabilitasi baik Kemenkes, Kemensos dan BNN juga diwajibkan untuk menyelenggarakan layanan rehabilitasi tanpa bayar bagi penyalah guna.
Tentunya, buat penyalahguna yang memenuhi kewajiban UU untuk melaporkan diri ke IPWL dan bagi penyalah guna yang diputus atau ditetapkan oleh hakim untuk menjalani rehabilitasi.
Di sisi lain Kemenkes dan masarakat juga dapat menyelenggarakan layanan rehabilitasi berbayar bagi penyalah guna secara sukarela.
Praktiknya, penegakan hukum baik Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum menggunakan upaya penahanan dan Hakim menjatuhkan hukuman penjara. Pada titik ini penegakan hukum tidak berorientasi pada tujuan UU narkotika.
Kalau penyidik menempatkan kedalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi justru ditempatkan pada lembaga rehabilitasi berbayar.
Pertanyaannya kenapa ditempatkan di lembaga rehabilitasi berbayar?
Penempatan kedalam lembaga rehabilitasi berbayar tersebut, disamping tidak berdasarkan ketentuan perundang undangan yang berlaku juga memberatkan fihak keluarga.
Pembuat UU harus mengontrol pelaksanaan UU
Pemerintah dan DPR perlu memahami UU narkotika yang dibuatnya sendiri agar dapat melaksanakan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan UU sehingga dapat memberikan koreksi terhadap penegakan hukum narkotika yang selama ini melenceng dari tujuan UU (pasal 4d) yang menjadi dasar penegakan hukumnya dan
Dapat mengoreksi Pengemban Fungsi Rehabilitasi dalam penyelenggaran layanan rehabilitasi bagi penyalah guna, baik atas kewajiban hukum maupun atas keputusan atau penetapan hakim.
Dalam proses penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika, penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan hakim diberi kewenangan untuk menempatkan tersangka/terdakwa penyalah guna kedalam IPWL (pasal 13 PP 25/2011) sebagai kewajiban penegak hukum sesuai tujuan UU narkotika,
Dalam proses pengadilan, hakim diberi kewajiban UU untuk merestoratif proses pengadilan (pasal 127/2) dan menggunakan bentuk hukuman secara khusus berupa rehabilitasi.
Itu sebabnya penyalah guna dalam proses pengadilan, terbukti bersalah atau tidak terbukti bersalah, hakim berdasarkan tujuan UU (pasal 4), dapat menggunakan kewenangan yang termaktup pasal 103 untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi sebagai kewajiban hakim (pasal 127/2).
Managemen penanggulangannya
UU membedakan managemen penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan penanggulangan terhadap peredaran gelap narkotika.
Penanggulangan terhadap peredaran gelap narkotika menggunakan pendekatan hukum pidana dengan sanksi berdasarkan pasal 10 KUHP.
Penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika menggunakan pendekatan medis yaitu:
Pertama, mengedepankan kewajiban hukum penyalahguna atau keluarganya untuk lapor guna mendapatkan perawatan agar sembuh
Bila penyalah guna melakukan kewajiban hukumnya maka status pidana yang semula diancam dengan pidana, menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/2).
Kedua, kalau tidak bersedia lapor untuk mendapatkan rehabilitasi maka penegak hukum akan menggunakan kewenangan untuk memaksa penyalah guna menjalani rehabilitasi melalui proses penegakan hukum.
Sehingga managemen penegakan hukum terhadap penyalah guna disaratkan memperhatikan kewajiban hukum penyalah guna atau keluarganya terlebih dahulu.
Bila penyalah guna atau keluarganya tidak melakukan kewajibannya, maka penegakan hukum bersifat rehabilitatif dapat dilakukan, bukan tanpa babibu penyalah guna langsung ditangkapi dan diproses secara pidana kemudian ditahan dan dijatuhi hukuman penjara.
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika menyatakan bahwa rehabilitasi adalah sanksi khusus bagi penyalah guna narkotika (pasal 103/2) sekaligus proses penyembuhan untuk membebaskan penyalah guna atau pecandu dari ketergantungan narkotika (pasal 1/15).
Rehabilitasi sebagai sebagai bentuk sanksi dan rehabilitasi sebagai proses penyembuhan, ini lah yang difahani oleh pemerintah dan aparatnya baik penegak hukum, pengemban fungsi rehabilitasi penyalah guna narkotika maupun masarakat hukum secara ambigu.
Akibatnya, timbul salah kaprah dalam upaya penanggulangan terhadap kejahatan penyalahgunaan narkotika, dimana penyalah guna yang nota bene penderita sakit ketergantungan narkotika tetapi diganjar dengan sanksi penjara.
Salah kaprah dalam penanggulangan kejahatan penyalah guna tersebut berdampak sangat besar yaitu terjadinya anomali lapas, ditandai dengan over kapasitas hunian lapas, penyalahgunaan dan peredaran narkotika didalam lingkungsn lapas, terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika setelah keluar dari lapas.
Last but not least terjadinya penyebaran penyalahgunaan narkotika sampai ke desa desa diseluruh indonesia, hal ini yang sangat merugikan pemerintah dan mempengaruhi ketahanan nasional dalam menghadapi gempuran transnasional crime dan budaya yang menyertainya.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, selamatkan penyalahgunanya dan penjarakan pengedarnya.
Penulis adalah: Polisi lulusan Akpol, berpengalaman di bidang reserse. Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang pernah menjadi Komandan Bareskrim Mabes Polri.
Jenderal bintang tiga ini menjadi sosok aktivis anti narkoba, seorang dosen yang juga penulis buku yang produktif. Komitmennya untuk mengedukasi dan meliterasi aparat, semua lini di bangsa ini, agar memahami permasalahan narkoba dengan jernih.