Beritaenam.com — 45 tahun yang lalu, sejak 26 juli 1976 Pemerintah Indonesia menetapkan dan memberlakukan UU no 8 tahun 1976.
Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya, menyatakan bahwa penyalah guna narkotika dalam proses di pengadilan diberikan alternatif hukuman.
Apa itu?
Berupa rehabilitasi meskipun menggunakan narkotika dilarang baik secara pidana maupun secara administrasi.
Alternatif hukuman berupa rehabilitasi bagi penyalah guna karena menggunakan atau menyalahgunakan narkotika secara medis pelakunya atau penyalah gunanya dalam keadaan sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental.
Maksud diberikan hukuman alternatif berupa rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika agar penyalah guna mendapatkan perawatan, penyembuhan dari sakit ketergantungan narkotika yang dideritanya dan tidak menggunakan narkotika lagi.
Hukuman aternatif berupa rehabilitasi merupakan bentuk hukuman penganti bagi penyalah guna, tidak lagi diberikan hukuman pidana atau administrasi meskipun penyalah guna diancam secara pidana ataupun diancam secara administrasi.
Pengalaman Indonesia ber UU narkotika sebanyak tiga kali, mulai dari UU no 9 tahun 1976 kemudian diganti dengan UU no 22 tahun 1997.
Kemudian diganti lagi dengan UU no 35 tahun 2009 yang berlaku sekarang ini, dimana hukuman rehabilitasi menjadi penganti hukuman pidana.
Indonesia era UU no 9 tahun 1976.
Bersamaan dengan ditetapkan dan diberlakukan UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya, pemerintah indonesia memberlakukan UU no 9 tahun 1976 tentang narkotika.
Dimana menggunakan atau menyalahgunakan narkotika bagi diri sendiri dilarang secara pidana (pasal 23/7), bentuk hukuman bagi penyalah guna bagi diri sendiri adalah menjalani rehabilitasi.
Penyalah guna narkotika dilarang secara pidana dan diancam dengan hukuman penjara dengan rumusan sebagai berikut:
Barang siapa secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi diri sendiri:
a. Dipidana dengan pidana penjara selama lamanya 2 (dua) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut daun coca atau tanaman ganja.
b. Dipidana dengan pidana penjara selama lamanya 3 (tiga) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainya.
Meskipun diancam secara pidana, hakim berdasarkan UU ini, diberi kewenangan memutuskan dan memerintahkan yang bersalah untuk menjalani pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi atas biaya sendiri (pasal 33).
Selama era berlakunya UU no 9 tahun 1976 tentang narkotika, hakim dalam memeriksa perkara menggunakan atau menyalahgunakan narkotika bagi diri sendiri, tidak menjatuhkan hukuman berupa rehabilitasi.
Indonesia era UU no 22 tahun 1997.
Pada tanggal 1 September 1997 pemerintah Indonesia menetapkan dan mengundangkan UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika menggantikan UU no 9 tahun 1976 yang dinyatakan tidak belaku lagi.
Hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna untuk diri sendiri tetap eksis, hakim tetap diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap perkara penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan (perkara pecandu).
Kewenangan menjatuhkan hukuman rehabilitasi tercantum dalam pasal 47 UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika yang berbunyi sebagai berikut:
Hakim yang memeriksa perkara pecandu dapat:
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan , apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yangbersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan , apabila pecantu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Ancaman pidana bagi pengguna atau penyalah guna narkotika tercantum dalam pasal 85 UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa tanpa hak dan melanggar hukum:
a. Menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana paling lama 4 (empat) tahun.
b. Menggunakan narkotika holongan II bagi diri sendiri dipidana paling lama 3 (tiga) tahun.
c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana paling lama 2 (dua) tahun.
Pada era UU no 22 tahun 1997 meskipun sudah jelas ancaman dan kewenangan hakim pada prakteknya penyalah guna narkotika tetap dijatuhi hukuman penjara.
Indonesia era UU no 35 tahun 2009.
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika lebih detail dalam mewujudkan semangat dan cita untuk merehabilitasi penyalah guna narkotika dan memberantas pengedarnya.
UU narkotika yang berlaku sekarang ini menggunakan pendekatan restorative justice mengikuti perkembangan jaman karena:
1. Menyatakan tujuan secara limitatif yaitu menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d).
2. Menyatakan bahwa rehabilitasi sebagai bentuk hukuman bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (pasal 103/2) meskipun perbuatan menggunakan atau menyalahgunakan narkotika baik sebagai pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika diancam secara pidana (127/1).
3. Dalam memeriksa perkara menggunakan atau menyalahgunakan narkotika hakim diberi kewajiban untuk menggunakan pendekatan restoratif justice dengan kewajiban memperhatikan kondisi taraf ketergantungan terdakwa (pasal 54) dan kewajiban hukum terdakwa (pasal 55) serta memperhatikan kewenangan hakim yang diberikan berdasarkan UU narkotika (pasal 103).
4. Hakim diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika selengkapnya berbunyi sebagi berikut:
Pasal 103 (1). Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat;
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Pasal 103 (2). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Sehubungan dengan kewenangan hakim yang tertera dalam pasal 103 tersebut, ada beberapa pertanyaan kritis dari para hakim: Pertama, hukuman rehabilitasi itu kan untuk perkara pecandu, kalau penyalahgunakan kriminal !
Menurut catatan saya, perkara pecandu adalah perkara menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psykis (pasal 1 angka 13)
Kedua, adanya pernyataan hakim yang mengatakan bahwa kewenangan “dapat” memutuskan dan menetapkan untuk memerintahkan menjalani rehabilitasi bersifat fakultatif, tergantung keyakinan hakim.
Menurut catatan saya arti kewenangan “dapat” yang tertera dalam pasal 103 adalah kewenangan tambahan, sifat wajib untuk memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi, baik terbukti atau tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Kewenangan hakim tersebut diberikan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika untuk menjamin agar tujuan UU narkotika terwujud (pasal 4d).
Adanya pertanyaan kritis dari para hakim bisa jadi menjadi alasan hakim untuk mengelak telah melakukan misuse of criminal sanction.
Dimana secara de-jure wajib dijatuhi hukuman menjalani rehabilitasi, tetapi de-facto pengguna atau penyalah guna narkotika dihukum penjara.
Ironi, hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika eksis sejak 45 tahun yang lalu.
Namun menurut catatan saya hanya artis Nunung dan Jefri Nichole yang dijatuhi hukuman menjalani rehabilitasi, sedangkan yang lainnya dipenjara.