“Dalam menanggulangi pilar rehabilitasi, partner kerja BNN sesungguhnya bukan komisi III. Tetapi, komisi yang membidangi kesehatan yaitu komisi IX.”
Beritaenam.com — Jelang akhir tahun 2019, ramai mengenai wacana pembubaran Badan Narkotika Nasional (BNN) dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Banyak yang kaget, tapi tak sedikit yang menanggapi “lemparan ide pembubaran BNN” untuk refleksi BNN itu sendiri.
Masyarakat anti narkoba, lebih senang membahas pentingnya pecandu atau pengguna di rehabilitasi, dibanding di penjara.
Jadi, ketika muncul rapat dengar pendapat terlontar kalau tidak ada terobosan BNN bubarkan saja. Ini semacam, “meledek” bahwa prestasi BNN standar. BNN “bubarkan” saja atau digabung dengan polisi.
Apa maksud dari anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu dan IPW?
Mereka, katanya, menilai keberadaan dan kinerja BNN harus dievaluasi.
Aktivis KNPI dan RIDMA Foundation malah curiga, usulan pembubaran BNN ini ditunggangi oleh mafia besar yang tidak ingin aparat melakukan pemberantasan narkotika.
“Menurut saya, pembubaran BNN hanya mimpi. Meskipun, pembubarannya digagas oleh DPR dan pemerintah sekalipun,” demikian Anang Iskandar, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ikut bereaksi.
“Hanya karena tidak ada terobosan, kok BNN-nya yang mau dibubarkan?” mantan Bareskrim Polri ini justru bertanya balik kepada si pengusul pembubaran BNN.
Press release tanggapan atas pembubaran BNN, langsung dilakukan oleh pengiat anti penyalahgunaan narkotika itu, bertalu-talu dan terasa hingga di penghujung tahun 2019 .
Dr. Anang Iskandar menegaskan wacana itu hanya sekedar koreksi sesaat.
“Dimungkinkan itu, hanya kritik tajamnya komisi III DPR secara arogan,” ujar Anang menjelaskan, bahwa Badan yang tugasnya menanggulangi masalah permintaan dan pasokan narkotika.
Narkotika di Indonesia yang juga dibutuhkan dalam dunia medis, jangan disalahgunakan.
Organisasi BNN itu, eksistensinya atas amanat Konvesi Internasional dalam menanggulangi masalah narkotika dunia.
Dan diperlukan pemerintah, dalam menggulangi masalah narkotika di indonesia yang tugasnya menanggulangi masalah permintaan (demand) dan pasokan (supply) narkotika.
“Hanya karena tidak ada terobosan, kok BNN-nya yang mau dibubarkan?” mantan Bareskrim Polri ini justru bertanya balik kepada si pengusul pembubaran BNN.
“Tahu enggak, kalau BNN dibubarkan, siapa yang diuntungkan, siapa yang tertawa terbahak bahak?” demikian Komisaris Jenderal Polisi Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. yang seorang purnawirawan ini mengungkapkan.
“Kenapa terbahak bahak?” masih menurut Anang, “Karena penegak hukum sekarang ini, dianggap tidak memahami bahwa penyalah guna dipenjara itu yang diuntungkan justru para pemasok.”
Anang menegaskan, agar tidak terbahak bahak, penegakan hukum terhadap penyalah guna ya direhabilitasi.
“Faktanya kan, justru ditahan dan penjara. Ini salah kaprah, salah penerapan hukumnya tapi dianggap benar,” paparnya.
“Saya bisa memahami, kenapa komisi tiga tidak mendukung BNN,” tutur Anang membuka hal ini ke publik.
Karena, “Dalam menanggulangi pilar rehabilitasi, partner kerja BNN sesungguhnya bukan komisi III. Tetapi, komisi yang membidangi kesehatan yaitu komisi IX.”
Indonesia Darurat Narkoba & Komisi III DPR tidak mendukung BNN.
Masalahnya, salah kaprah tersebut, demikian Anang menjelaskan: “Membawa Indonesia, memasuki darurat narkotika”.
Anang menyebut, “Karena, kesulitan menekan permintaan. Ini yang berakibat pasokannya membludak,” ujar polisi yang berpengalaman dalam bidang reserse ini.
Sosok polisi lurus, dengan jabatan terakhir jenderal bintang tiga ini menganggap, selama ini komisi III DPR tidak mendukung BNN dalam menangani: “Pilar Rehabilitasi”.
Komisi III DPR, secara terus terang menurut Anang tidak meluruskan penegakan hukum yang salah kaprah tersebut.
Akibat salah kaprah dalam penerapan hukum dan mal-administrasi penegakan hukum terhadap perkara penyalah gunaan narkotika itu, berakibat gagalnya penanggulangan terhadap permintaan narkotika Indonesia.
“Bayangkan! program pemerintah wajib lapor pecandu guna mengurangi permintaan narkotika di Indonesia gagal,” ujar Anang Iskandar berseru.
“Ya, karena yang diberi kewajiban justru ketakutan melaksanakan wajib lapor. Sebab, secara empirik penyalahguna yang bermasalah dengan hukum berakhir dipenjara,” tutur pria yang sempat dijuluki, bapaknya rehabilitasi narkoba.
Masih menurut Anang, “Partisipasi orang tua dan masarakat untuk mengurangi penyalah guna narkotika melalui proses penyembuhan secara sukarena juga gagal diwujudkan.”
“Mereka melakukan sembunyi-sembunyi takut anaknya ditangkap dan dipenjarakan,” pria kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, 18 Mei 1958 ini memaparkan.
Anang membuka kartu, jika ini terus terjadi dan tidak koreksi dan kesadaran kita semua.
“BNN sebagai representasi negara akan kalah dengan bandar narkotika by design dalam mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika,” tutur sosok yang berkomiten, hingga akhir hayat perangi masalah narkoba.
“Ayo kita perangi narkoba, dengan cara, penegak hukum tidak menahan dan tidak menghukum penjara bagi pecandu,” ujar Anang memberi prediksi kalau terus menahan dan menjatuhkan hukuman penjara masalah narkotika akan bertambah subur di Indonesia.
Kesimpulannya, Anang memberi pencerahan bahwa BNN memang harus bisa tampil cantik di depan publik dengan catatan didukung komisi III DPR dan penegak hukum dalam menanggulangi pilar rehabilitasi.
“Ayo kita perangi narkoba, dengan cara, penegak hukum tidak menahan dan tidak menghukum penjara bagi pecandu.”