Riza Fauziah
NIM : 201010250313
Tanggal 25 Mei 2022, pemerintah kembali mengusulkan 14 pasal dalam RUU KUHP yang pembahasannya tidak usai-usai. Di antara 14 pasal tersebut salah satunya menyangkut penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Hal ini menurut penulis menjadi sangat kontroversi dalam hukum yang berlaku di Indonesia.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menjadi salah satu pihak yang telah lama menyuarakan tuntuan agar pasal penghinaan presiden di RKUHP dihapus. Frasa “penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.”
ICJR juga menekankan, pasal penghinaan presiden tidak relevan untuk negara demokratis. MK dalam putusan 013-022/PUU-IV/2006 menyatakan, sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat pasal penghinaan presiden yang menegaskan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Akan tetapi didalam perkembanganya pasal penghinaan presiden justru dimuat kembali dalam RKUHP dengan konsep yang sedikit berbeda. Perbedaan itu terlihat dari delik pasal tersebut. Dahulu, pasal penghinaan presiden dikategorikan sebagai delik biasa, sedangkan saat ini pasal itu dikategorikan sebagai delik aduan, dan dikecualikan terhadap kepentingan umum serta pembelaan diri.
Indonesia menganut social welfare state dengan demokrasi yang luas dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Kebebasan individu untuk dapat mengkritik dan berpendapat merupakan sebuah prinsip dasar dan substansi utama bagi negara yang menganut paham demokratis, maka kedudukan antara pemerintah dan rakyatnya adalah sama. Sehingga pasal penghinaan presiden baik itu delik aduan ataupun delik biasa akan menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Menurut penulis, dalam negara demokratis kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekpresi yang sebisa mungkin bersifat konstruktif. ini jelas tidak sejalan dengan hak kita dalam mengkritik karena ini adalah RKUHP. Seharusnya aturan hadir karena kepentingan masyarakat, bukan hanya kepentingan penguasa.
Pasal ini kembali dihidupkan dan ini jelas melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang bersifat Final dan Mengikat. DPR dan presiden dalam penyusunannya jangan sampai melanggar aturan main yang dibuat oleh mereka sendiri,” pungkasnya.
Selain itu, penulis berharap dengan penundaan pembahasan hingga pengesahan RKUHP ini, pemerintah legislatif dan eksekutif harus memperhatikan mana pasal pro rakyat dan mana pasal yang menghalangi rakyat, selanjutnya penulis menegaskan untuk pembahasan lanjutan RKUHP 14 pasal ini perlu dibahas ulang sehingga pasal-pasal kolonial tidak hidup kembali, karena percuma perubahan kalau hasil tidak berbeda.
Penulisun berpendapat bahwa ide penulis sangat didukung oleh para ahli salah satunya J.E Sahetapy bahwa pasal-pasal mengenai penghinaan presiden dalam era demokrasi tidak lagi relevan dan hilang “raison d’etre-nya”, jelaslah kiranya. Karena permasalahannya bukanlah terkait delik apa, tetapi lebih fokus kepada untuk menghilangkan secara keseluruhan pasal penghinaan presiden.
Akan tetapi seperti RUUKHUP akan tetap hodup dengan segala kontroversinya dan kekuasaan yang saat dimilinya sangat powerfull.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang