Oleh : Nasrudin Joha
Sebenarnya, kalau Prabowo mau jadi Menhan ya jadi menhan saja. Tak usah berdeklamasi tentang keutuhan bangsa, demi persatuan, demi kedaulatan, atau apalah namanya. Rumus politik itu sederhana, semua demi kekuasaan.
Kalau pendukung Prabowo juga diam, cukup ikut menikmati jatah (jika kebagian) atau cukup ikut mendoakan (jika cuma partisan), maka kritik terhadap posisi Prabowo dan Gerindra itu selesai. Semakin selesai cepat perdebatan mengenai Prabowo yang merapat ke kubu rezim semakin bagus buat Gerindra.
Namun jika Gerindra membuka FRONT, baik melalui representasi resmi partai atau meminjam tinta para penulis, baik tinta itu berbayar atau para penulis yang taklid buta pada sosok Prabowo, maka persoalannya menjadi panjang dan semakin runyam. Sebab, netizen yang waras tak mungkin mengambil pilihan diam dan mengalah dituduh bersalah.
Kepada rezim yang represif saja kami terbiasa melawan, apalagi cuma hanya Gerindra? Kepada partai yang lain saja yang berkuasa penuh kami terbiasa mengajukan kritik, apalagi Gerindra yang posisinya hanya ‘partai pembantu’ yang ikut menyokong rezim ?
Saya ingin dudukan masalah, sekali lagi pada posisi yang benar.
Pertama, membangun bangsa, menjaga persatuan, memikirkan masa depan, kedaulatan dan cita cita bangsa, itu tak harus berkoalisi dengan rezim. Narasi yang keliru, adalah ketika menjadikan alasan kebangsaan sebagai dalih pembenar untuk merapat ke rezim. Akui saja, itu karena lezatnya kue kekuasan, selesai.
Kedua, jangan dianggap orang atau elemen yang mengkritik rezim itu tak peduli bangsa, tak inginkan persatuan apalagi dipahami mengganggu kedaulatan dan cita cita bangsa. Itu keliru besar.
Justru kami ajukan kritik itu karena kami peduli, kami ajukan kritik karena kami mengerti, kami mengoreksi kekuasan karena kami paham. Jangan dikira, mainan manuver kekuasan itu hanya monopoli partai dan para elit. Di era digital, tak ada satupun aktivitas kekuasan yang luput dari pengamatan publik.
Ketiga, kritik yang kami ajukan kepada Prabowo adalah dalam rangka mengembalikan Prabowo ke jalur yang benar. Bersama cita dan ideologi yang dahulu pernah dipamerkan kepada publik. Pada narasi ‘timbul tenggelam bersama rakyat’. Nyatanya itu tidak mempan, Prabowo tetap merapat ke istana.
Namun bukan berarti kritik yang kami ajukan sia-sia. Karena kami juga sedang melakukan pendidikan politik kepada umat, agar tak mudah percaya para agitasi politik partai baik yang berkuasa maupun yang mengaku beroposisi kepada rezim.
Karena itu, jangan halangi kami menuliskan realitas yang nyata, yang itu dapat kami indera untuk kami sampaikan kepada publik, karena publik juga punya hak atas perspektif politik yang lurus selain apa yang disuguhkan para elit. Jika tidak sejalan, biasa saja.
Dahulu Gerindra juga tidak sejalan dengan Jokowi, kritik Gerindra begitu tajam ke rezim, tapi setelah dapat jatah menteri bungkam. Dan untuk waktu lima tahun Kedepan, dipastikan Gerindra akan menjadi setan bisu.
Apalagi, kami mengkritik karena ada tanggungjawab besar dipundak kami. Tanggungjawab 700 anggota KPPS yang meninggal dunia secara misterius, korban demo 21-22 Mei, korban mahasiswa, Ansk STM, korban para ulama yang dikriminalisasi karena membela agama dan kebetulan mendukung Prabowo. Yang lebih penting, tanggungjawab kami terhadap barisan emak-emak militan.
Mereka yang tulus, berkorban harta, waktu, pikiran, tenaga, bahkan ada sebagian mereka ditangkapi rezim hanya gara-gara salam dua jari, salam perlawanan kepada rezim, dalam dukungan kepada Prabowo. Apakah kami harus berdiam diri ? Tentu saja tidak.
Dan apa yang Prabowo miliki saat ini, hanya jabatan pembantu. Jongos bahasa Jawanya. Pembantu Presiden. Mau disebut Menhan atau apapun, setiap saat setiap waktu Presiden bisa mencopot Menhan, sebagaimana Presiden juga mudah mencopot panglima TNI yang punya pasukan.
Panglima TNI saja mudah dicopot, apalagi cuma Menhan ? Jadi, tidak usah halu, mengigau terlalu jauh untuk mencari dalih pembenar. Akui saja, itu kue kekuasan yang legit. Selama ini Gerindra terlalu lama berpuasa di lingkaran eksekutif, sekali waktu makan besar boleh kok. Asal jujur saja.
Sebenarnya posisi Prabowo jauh lebih signifikan jika Prabowo tetap berdiri bersama rakyat. Tetap membangun bangsa meskipun tak harus masuk lingkaran kekuasan. Tetap menjadi bapak bangsa yang berwibawa, ketimbang menjadi jongos Jokowi.
Ah sudahlah, waktu Prabowo sudah habis, terlambat juga jika dia kembali kepada rakyat. Lebih baik nikmati saja kue kekuasaan, dan jangan mencari dalih lagi yang membuat perasaan rakyat semakin perih.
Penulis : Nasrudin Joha