beritaenam.com – Presiden Donald Trump telah memutar balik kebijakan Amerika Serikat selama puluhan tahun dengan mengatakan bahwa sudah waktunya bagi Washington untuk mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, yang direbut dari Suriah pada 1967.
Dalam sebuah twit, Trump menyatakan dataran tinggi tersebut memiliki “nilai strategis dan sangat penting dari sisi keamanan bagi Negara Israel dan stabilitas regional”.
Israel mencaplok Golan pada 1981, namun langkah ini tidak diakui masyarakat internasional. Suriah, yang berusaha mendapatkan kembali wilayah tersebut, sejauh ini belum berkomentar.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang telah memperingatkan akan “pertahanan militer” musuh bebuyutan negaranya, Iran, di Suriah dan telah memerintahkan serangan udara dalam upaya menggagalkannya mengucapkan terima kasih kepada Trump lewat sebuah twit.
“Di saat Iran berusaha memanfaatkan Suriah sebagai landasan untuk menghancurkan Israel, Presiden Trump dengan berani mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan,” tulisnya.
Richard Haas, mantan pejabat senior Departemen Luar Negeri AS yang kini menjabat sebagai presiden lembaga kajian Council on Foreign Relations, berkata ia “sangat tidak setuju” dengan Trump.
Ia mengatakan bahwa pengakuan atas kedaulatan Israel tersebut akan melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB, “yang melarang perolehan wilayah karena perang”.
Deklarasi Presiden Trump muncul seiring Netanyahu menghadapi persaingan ketat dalam pemilu pada 9 April, serta serangkaian dugaan korupsi.
Pada 2017, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memerintahkan relokasi kedutaan besar AS ke kota tersebut dari Tel Aviv.
Keputusan itu dikecam warga Palestina, yang ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara Palestina di masa depan, dan Majelis Umum PBB menuntut keputusan itu dibatalkan.
‘Kejutan baik bagi Netanyahu’
Koresponden BBC di Departemen Luar Negeri AS, Barbara Plett-Usher, berpendapat bahwa kejutan dari pernyataan Trump bukan pada substansinya, melainkan waktunya.
Ide AS mengakui kedaulatan Israel atas Golan telah dipertimbangkan oleh pemerintahan Trump sejak cukup lama.
Israel telah mendapat dukungan di Gedung Putih dan sebagian Kongres dengan berargumen bahwa Iran menggunakan Suriah sebagai markas untuk menyasar Israel, dengan Dataran Tinggi Golan sebagai garis depannya.
“Namun demikian, pengakuan formal dari AS tidak mengubah fakta di lapangan: Israel sudah bertindak dengan otoritas militer penuh,” kata Plett-Usher.
Jadi beberapa pengamat menyimpulkan bahwa pengakuan ini adalah upaya terang-terangan untuk mendukung Netanyahu dalam pemilu, ia menambahkan.
Jika benar demikian, pengamat menilai hal ini melanggar prinsip penting hukum internasional: Trump telah mendukung suatu perebutan wilayah, dan tidak akan punya otoritas moral untuk mengkritik Rusia karena melakukan hal serupa di Crimea.
Apa pentingnya Dataran Tinggi Golan?
Wilayah ini terletak sekitar 60km sebelah barat daya dari ibu kota Suriah, Damaskus, dan mencakup sekitar 1.200km persegi.
Israel merebut sebagian besar wilayah Golan dari Suriah pada tahap akhir perang Timur Tengah pada 1967, dan menggagalkan upaya Suriah untuk merebut kembali wilayah tersebut dalam perang tahun 1973.
Kedua negara sepakat untuk menghentikan pertempuran pada tahun berikutnya. Kesepakatan tersebut meliputi penetapan zona demiliterisasi sepanjang 70km yang dijaga oleh pasukan pengawas PBB. Namun mereka secara teknis tetap berada dalam kondisi perang.
Pada 1981, parlemen Israel meneken undang-undang yang menerapkan “hukum, yurisdiksi, dan administrasi” Israel di Golan, secara praktis mencaplok wilayah tersebut. Namun masyarakat internasional tidak mengakui langkah ini, dan tetap mengakui Golan sebagai wilayah Suriah yang diduduki Israel.
Resolusi 497 Dewan Keamanan PBB menyatakan keputusan Israel “batal demi hukum dan tidak berdampak secara hukum internasional”.
Tiga tahun lalu, ketika Presiden Barack Obama menjabat, AS mendukung pernyataan Dewan Keamanan yang mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas pernyataan Netanyahu bahwa Israel tidak akan pernah melepaskan Golan.
dilansir detik.com, Suriah selalu bersikeras bahwa mereka tidak akan menyetujui perjanjian damai dengan Israel kecuali Israel menarik diri dari seluruh wilayah Golan.
Perundingan damai terakhir yang diperantarai AS gagal pada tahun 2000, sementara Turki memediasi perundingan tak langsung pada 2008.
Terdapat lebih dari 30 permukiman Israel di Golan, yang menjadi rumah bagi sekitar 20.000 orang. Permukiman tersebut ilegal menurut hukum internasional, meski Israel membantahnya.
Para pemukim tinggal bersama sekitar 20.000 warga Suriah, kebanyakan dari mereka merupakan Arab Druze, yang tidak pergi ketika Golan direbut Israel.