Jakarta – Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 (UU Minerba) Dianggap pesanan korporasi besar untuk menguasai wilayah usaha pertambangan di Indonesia.
Hal ini diungkpan Wahyu Nugroho dalam sidang gugatan formil UU Minerba, Kamis (23/7). “UU ini jelas-jelas menjauhkan negara dalam pengelolaan sumberdaya alamnya karena jelas-jelas merupakan UU pesanan,” tegas Wahyu.
Dia beralasan, proses pembahasan UU Minerba yang digelar tertutup dan tidak melibatkan DPD, serta Pemerintah Daerah mengindikasikan UU Minerba sebagai pesanan dan dipaksakan pengesahannya.
“Pembahasan tertutup selama dua minggu di sebuah hotel untuk membahas 938 daftar inventaris masalah dan lebih dari 80 % materi perubahan mengindikasikan UU Minerba sebagai pesanan dan sangat dipaksakan,” ungkapnya.
Dalam sidang gugatan formil itu, Wahyu Bertindak sebagai kuasa hukum untuk gugatan formil terhadap UU Minerba dengan nomor gugatan 60/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh anggota DPD Jakarta Alirman Sori, anggota DPD Tamsil Linrung, Gubernur Bangka Belitung (Babel), Erzaldi Rosman dan sejumlah pihakyang tergabung dalam Koalisi Peduli Pertambangan (KPP).
Sementara itu, Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Erzaldi Rosman selaku pemohon uji materil terhadap UU Minerba dalam keterangan persnya menyatakan tidak pernah dilibatkan maupun dimintai pendapat dalam pembahasan mengenai UU Minerba. Menurutnya, hal tersebut sangat merugikan.
Erzaldi dalam keterangan persnya juga menyebut UU Minerba bertentangan dengan Pasal 18A ayat 2 dan 5 UUD 1945 terutama mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“UU Minerba tidak boleh membuat norma baru dan bertentangan dengan UU Pemda, pengelolaan pertambangan Minerba yang sentralistis bertentangan dengan politik hukum pemerintahan daerah yang mentitikberatkan otonomi daerah yang seluas-luasnya,” jelas Erzaldi. (Uyung).