beritaenam.com, Jakarta – Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) menilai kualitas demokrasi di Indonesia saat ini menurun. Bangsa Indonesia juga disebut masih belum dewasa dalam berdemokrasi.
Ketua Umum ICMI, Prof Dr Jimly Asshiddiqie mengatakan, meski dari segi kuantitas partisipasi pemilih meningkat, namun dari kualitas yang diukur dari berbagai aspek seperti komunikasi publik, lembaga survei, dan pengamat politik di Indonesia menurun.
“Misalnya, dalam komunikasi publik, karena dulu nggak ada medsos sekarang ada medsos saling jelek menjelekkan satu dengan yang lain. Ini sudah terlalu riskan, itu juga menyebabkan masing-masing saling tuding,” kata Jimly di Jakarta, Senin (22/4).
Dia pun mencontohkan lembaga survei yang sifatnya independen ilmiah dan lembaga yang bagian dari tim sukses atau konsultan politik.
Menurut Jimly, ke depan keduanya harus dibedakan melalui kode etik untuk konsultan politik atau independen.
Jimly menyebut lembaga survei tidak boleh menjadi partisan salah satu paslon.
“Karena banyak yang kritik mereka, lalu membela diri seolah-olah menjadi pihak yang berperkara. Dengan itu ya pihak 01 atau 02, maka tidak ada lagi yang objektif,” ucap Jimly.
Dia menuturkan, hal yang sama juga berlaku dengan pengamat dari berbagai perguruan tinggi. Di antara mereka banyak yang memakai jas objektivitas, namun juga menjadi pihak salah satu paslon tanpa disadari.
“Inilah yang membuat kualitas demokrasi kita agak jadi turun itu dalam komunikasi publik,” kata dia.
“Dari segi prosedur demokrasi oke, sudah meningkat partisipasi meningkat, tetapi dari segi substantif demokrasi agak turun karena ada kualitas dan integritas yang kurang,” ujar Jimly pula.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode pertama itu juga menilai bangsa Indonesia belum dewasa dalam berdemokrasi dengan sistem dua kubu.
Dia mencontohkan, di Amerika Serikat yang sistem politiknya selalu terbelah menjadi dua kubu bahkan sejak sebelum merdeka, namun memiliki kekuatan yang sangat besar di bidang ekonomi, teknologi, militer, dan politik.
Di Amerika terjadi pembelahan dua kelompok politik yaitu di Partai Demokrat yang dekat dengan buruh, dan Partai Republik yang menjadi representasi para pengusaha.
Pertentangan dua kubu tersebut sangat sengit sudah sejak lama hingga saat ini, meski di Negeri Paman Sam tersebut terdapat banyak partai lainnya.
Tetapi dengan adanya pertentangan dua kubu yang sengit tersebut, Amerika tetap menjadi negara adidaya yang maju dalam berbagai bidang.
Jimly menegaskan, yang menjadi perbedaan antara Amerika Serikat dan Indonesia dalam sistem perpolitikan dua kubu adalah pandangan dalam memahami urusan kenegaraan.
“Pertentangan pendapat di antara dua golongan (Parrtai Demokrat dan Partai Republik di AS) ini sengit sekali, tapi untuk hal-hal yang sifatnya objektif, rasional, dan duniawi. Nah, di Indonesia ini, dua kubu ini ada kaitan dengan akhirat, ini yang jadi masalah,” kata Jimly.
Menurut dia sistem perpolitikan di Indonesia kerap berkaitan dengan surga dan neraka dikarenakan ada sejarah politik yang belum selesai yaitu sejak di konstituante dan Piagam Jakarta (era 1940-an).
Ada kaitan dengan kebangsaan melawan keagamaan yang pada akhirnya mengapa terjadi ijtima ulama dan majelis ulama, sebagaimana keulamaan dijadikan simbol keislaman yang diperlukan oleh orang-orang politik.
“Kalau di Amerika kan isunya itu isu objektif duniawi, kalau di Indonesia ada kaitan dengan surga dan neraka. ‘Kalau milih yang satu ini neraka nih nanti, kalau yang satu lagi bilang justru ini yang masuk surga’. Jadi kita masih belum beranjak sesudah 70 tahun merdeka masih ke situ,” ujarnya, seperti dilansir dari Antara.
Namun Jimly berharap perseteruan dua kubu kelompok politik di Indonesia ini bisa menjadi proses pendewasaan dalam berdemokrasi ke depannya, merujuk negara Amerika yang tetap maju dan bersatu meski telah berseteru lebih dari dua setengah abad.