beritaenam.com, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunggu kedatangan Direktur Utama (Dirut) PLN, Sofyan Basir dari Perancis. Sofyan akan diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I.
“Kami percaya Pak Sofyan akan kembali karena pergi keluar negeri ini kan dalam rangka penugasan nanti kalau jadwalnya sudah ada pemeriksaan tersangka dan saksi akan kami sampaikan panggilannya secara patut ,” kata Juru Bicara KPK Febridiansyah, Rabu 24 April 2019.
Ia meminta Sofyan kooperatif saat pemeriksaan nanti. Ia berharap Sofyan tidak menunda-nunda proses penyidikan sebagai tersangka.
“Kami imbau tersangka ataupun saksi memenuhi panggilan tersebut, hadir dan memberikan keterangan secara benar dan proses penyidikan akan kami lakukan terlebih dahulu,” ujar Febri.
Untuk mendalami peran Sofyan, KPK akan memeriksa saksi staf anggota DPR Eni Maulani Saragih. Saksi itu kini telah menjadi terpidana di kasus yang sama.
“Iya staf Saragih yang sudah jadi terpidana dalam kasus ini dan sudah kami eksekusi,” terangnya.
Sebelumnya, Keterlibatan Sofyan di kasus suap berawal ketika Kotjo melalui Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Dia memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Bos BlackGold Natural Recourses (BNR) Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo, akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga terjadi beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes Kotjo. Namun, ketiganya tak selalu lengkap menghadiri pertemuan.
Pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Pasalnya, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Saat itu, sejatinya Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2×300 MW kemudian diketahui masuk RUPTL PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu direktur PT PLN merealisasikan ower purchase agreement (PPA) antara PLN dengan BNR dan China Huadian Engineering Company (CHEC).
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.