Saya mau bicara soal pengelolaan perusahaan, saya kaitkan dengan situasi politik akhir akhir ini. Mungkin beda perspektif, tapi kalau di tarik benang merahnya, sepertinya ada kemiripan, ada tarikan garis lurus dalam struktur pengelolaan. Boleh saja orang menganggapNggak ada maksud menyamakan atau membandingkan, tapi ini hanya analisa saya sebagai pengusaha, owner perusahaan yang nggak awam awam aman urusan politik. Minimal concern saya dala. Mengakses informasi lebih banyak membaca dan menyimak soal politik.
Saya sudah 24 tahun berkecimpung di bisnis. Benar benar mulai dari nol. Merintis usaha dari bawah, sampai sekarang saya punya beberapa unit usaha. Beberapa diantaranya bergerak di bidang usaha yang sama, tapi punya manajemen dan struktur organisasi yang beda. Bukan disengaja, tapi memang berkembang secara natural, dengan memberi posisi baru kepada orang orang profesional yang sudah lama ikut saya. Mereka berkembang dan berkompetisi.
Sebagai owner, saya sering mengingatkan untuk bersinergi secara internal, berkompetisi secara eksternal. Bahasa sederhananya, kita ini keluarga. Di dalam rumah saling suport, di luar rumah silahkan bertarung. Pertarungan itu kadang terbawa sampai di rumah. Sepanjang masih sehat, biar saja. Tapi kalau sudah kontra produktif, diingatkan. Dalam perusahaan, menjaga keseimbangan itu penting. Saya percaya, pelaku pelaku profesional di dalam perusahaan, punya gaya kepemimpinan, punya strategi berkompetisi. Perbedaan mengelola perusaan, hal yang wajar. Dan saya menghargai perbedaan itu, nggak sebatas toleransi. Yang penting tujuannya sama, untuk kemajuan dan produktifitas. Tapi seorang owner jarang ikut campur tangan hal tehnis. Karena owner yang benar harusnya sudah tidak meng handle urusan urusan tehnis operasional. Posisinya hanya menjaga, mengontrol dan mengawal hal yang sifatnya strategis.
Dalam sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, sudah banyak pencapaian telah dilalui, terutama dalam infrastruktur. Banyak langkah strategis dilakukan, mulai dari pengambil alihan aset aset penting, sampai soal kabijakan yg banyak membuat decak kagum negara lain.
Saya nggak tau, dalam struktur ketata negaraan ini, posisi presiden itu dimana? Saya sekedar mensimplifikasi, andaikata presiden adalah salah satu pemegang kendali di eksekutif, yudikatif dan legislatif adalah bagian penting, meskipun punya peran yg berbeda. Tapi mereka masuk sebagaibtim ‘direksi’ mewakili posisinya. Dalam hal ini, pimpinan elsekutif adalah pengendali, yang oleh rakyat di beri peran penting dan dominan. Makanya ada pilpres.
Saya mau masuk dalam analisa politik akhir akhir ini, taruklah Jokowi, sebagai pengendali, memang jago dalam soal strategi. Dia mahir, terutama dalam memecah dominasi. Mungkin jokowi, atau kekuatan dibalik sukses pemerintahan dalam 10 tahun terakhir.
Ketika PDIP mulai mendominasi di kekuasaan, dia dipecah, justru di akhir kekuasaannya. Dan ini menciptakan kekuatan penyeimbang. Ketika Koalisi indonesia maju mulai ambil peran dan mulai mendominasi mau menguasai kantong kantong daerah utama dengan menggandeng KIM plus, tiba tiba muncul keputusan MK yang membuat peta politik berubah. Semua by design, bukan kebetulan. Awam mungin memandangnya dari satu sisi. Tapi sebenarnya ini adalah hukum keseimbangan. Dalam agaka Islam, keseimbangan adalah sunatullah, sama halnya perbedaan. Karena dengan perbedaan, satu sama lain bisa saling mengontrol. Ceck and balance. Tidak ada dominasi. Karena dominasi hanya akan menciptakan otoritarian, dan pemerintahan yg koruptif. Makanya dominasi KPK sekarang dipecah, dengan kekuatan kejaksaan agung yg belakangan mulai unjuk gigi dan bernyali. Kepolisian yg selama ini dipersepsikan sebagai institusi penuh transaksi, bertahun tahun dibiarkan sebagai institusi yg sarat ‘transaksional’ dg banyak permainan2 kasus, mulai dibenahi. Memang nggak sim salabim. Butuh proses. Begitu juga kekuatan orde baru yg direpresetasikan dalam KIM, mulai dipecah dan disusupi orang2 yg punya andil dalam gerakan reformasi.
Bahkan jokowi yg prouvel ratting nya mencapai angka 85% aja membiarkan diri dan keluarganya di hantam isu isu hoax. Di hina di lecehkan, jadi bulan bulanan di medsos. Supaya apa? Ada balace; menunjukkan bahwa jokowi manusia biasa. Keluarganya toh tetap hidup sederhana.
Ketika image kesederhanaan jokowi dan keluarganya terus didengung dengungkan oleh para pemujanya, tiba tiba muncul pemeritaan menghebohkan soal gaya hidup hedon yang ditunjukkan oleh salah satu anak presiden. Kaesang bersama istrinya plesir ke luar negeri menggunakan jet pribadi, belanja barang mewah dan di pamerkan di social media. Ramailah hujatan. Ini kenapa dilakukan setelah putusan MK yg membatalkan syarat dirinya maju dalam kontestasi pilkada? Apakah itu serba kebetulan, apa by design? Semua bisa dipersepsikan macam2. Menurut saya, ini bukan muncul todak disengaja. Alangkah bodohnya, seorang kaesang melakukan itu. Soal penggunaan jet pribadi, mungkin bukan yang pertama. Wajar dia pengusaha, istrinya juga dari kalangan berada. Tapi kenapa baru sekarang heboh.
Dibalik semua itu, apakah serba kebetulan atau by design, muncul persepsi public yang mengarah pada keseimbangan.
Apakah yg dilakukan kaesang itu serba kebetulan, lalu bocor dan menjadi konsumsi public? Tidak ada yg serba kebetulan. Ada kalkulasi, dengan segala konsekuensinya. Kalau sampai Kaesang dipanggil KPK, lalu diminta klarifikasi, apakah itu nggak akan menciptakan pemberitaan yang luar biasa masif? Iya pasti. Yang diuntungkan siapa? Selain dirinya, partai yang dipimpinnya akan mendapatkan ekspose media luar biasa. Terlepas dari pemberitaan negatif, pasti juga akan ada efek positif. Dalam strategi promosi, ada yg dinamakan manajemen conflic, ini hanya dipahami di tataran elite. Akar rumput itu netizen. Mereka menerima dengan persepsi masing masing. Kita ini hidup era serba digital. Kita jangan naif lah. Dunia ini sudah punya peran masing masing. Semua ada aturan, artinya ada yg mengatur, ada yang diatur. Dalam bahasa awam saya; negara ini sudah di disain sedemikian rupa, dengan konflik2 sosial yg tetap terukur dalam eskalasi yg masih bisa ditoleransi. Tujuannya apa? Untuk menciptakan keseimbangan.
Keseimbangan, adalah hukum alam. Keseimbangan adalah sunatullah.Apakah gerakan mahasiswa, kaum intelektual dan gerakan sivil society yg sekarang ini. sebagai gerakan spontan yg merepresentasikan kekuatan masa maintrem? Sebagian ada benarnya, tapi nggak semuanya murni sebagai gerakan spontan. Semua by design, digerakkan untuk membentuk keseimbangan. Apakah itu akan mengarah pada gerakan revolusi atau banyak yg mengistilahkan gerakan reformasi jilid dua? Saya kok nggak yakin. Terlalu beresiko, buat negara ini, kalau masyarakan didorong untuk melakukan itu untuk tujuan ke arah sana. Bagaimana mungkin, negara yg baik baik saja, pembangunan begitu masive, negara lain aja mengagumi kemajuan Indonesia, dan banyak yg mencontoh kita bagaimana mengelola sumberdaya alam, menjaga integritas negara; mau dibenturkan oleh kepentingan kepentingan yang ikut bermain di wilayah konflik. Terlalu beresiko, dan terlalu mahal kalau ada pihak yg mencoba ber’akrobatik’ ditengah hiruk pikuk pertentangan dan gerakan demokrasi. Pembangunan dan laju kemajuan yg telah dicapai dalam 10 tahun terakhir ini, aadalah nyata. Tapi dibangun dengan utang? Lebih baik utang buat pembangunan, daripad hutang negara dihambur hamburkan untuk hal yang nggak jelas keperuntukannya, malah dikorupsi rame rame.
Berdebat soal ini akan panjang dan bertele tele. Nggak akan habis dan nggak akan selesai.
Intinya, indonesia di bawah pemerintahan jokowi dalan 10 tahun terakhir ini sudah meletakkan dasar pembangunan ke arah yg benar; yaitu membangun infrastruktur, peradaban, membangun sumber daya alam, menciptakan persaingan dan terus berusaha mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan.
Dengan putusan MK, diiringin dg gerakan mahasiswa dan civil society, telah menciptakan keseimbangan kekuatan politik di negeri ini. DKI jakarta yg semula mau diarahkan untuk dominasi kekuatan melawan kotak kosong, akhirnya bisa menciptakan peluang tokoh lain muncul dan menjadi sehat dan kompetitif. Ada Ridwan Kamil, ada Pramono Anung. Dua duanya orang terdekat jokowi. Di jawa timur juga menciptakan kompetisi pilkada yg sehat, di sana ada kofifah, ada tri risma. Apa nggak keren tuh! Dua duanya orang deket jokowi juga.
Saya bukan siapa siapa. Saya hanya warga negara yg pingin hidup tenang mencari rizky di tanah negeri ini. Gini gini, saya juga pelaku sejarah, yg turut serta dalam gerakan reformasi menumbangkan kekuatan dominasi. Salam waras….