Saat kita menyetel tayangan video, kini tayang iklan yang menawarkan pola bisnis baru. Yakni ambil barang dari Cina, dirakit kemudian dijual kembali.
Kepala Seksi Tempat Penimbunan Berikat Lainnya Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Irwan Mashud mengungkapkan penyebab harga barang dari China lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri. Hal ini dapat dilihat di berbagai penjualan barang online atau e-commerce.
“Murah, karena tidak dipungut bea masuk. Dan kita lihat barang-barang di market place yang menjual juga rata-rata barang luar negeri. Hampir 90 persen dari luar negeri. Jarang barang lokal,” ujar Irwan.
Untuk menanggulangi peredaran barang impor melalui e-commerce pemerintah akan membuat Pusat Logistik Berikat (PLB) khusus e-commerce. PLB tersebut nanti akan menjadi tempat penampungan barang impor dari luar negeri.
“Ini kan sebenarnya yang jastip dia tidak bayar bea masuk. Kita mau arahkan supaya lewat PLB. Kalau PLB lebih terarah dan kita tahu datanya. Bisa kita pungut bea masuk, kita pungut pajak sehingga negara tidak hanya sekedar kehilangan duit. Selama ini kan mereka masuknya lewat paket gitu,” jelasnya.
Dia menampik pemerintah tidak melakukan pengawasan terhadap barang impor melalui e-commerce. Namun, kondisi di lapangan kerap kali terbentur aturan harga barang yang diwajibkan menyetor bea masuk dan pajak kepada negara.
“Bukan belum mengawasi, karena memang regulasinya kalau barang di bawah USD 75 tidak kena bea masuk untuk yang perusahaan jasa titipan. Kalau penumpang ada batasan USD 500 per orang. Kalau anda jalan-jalan keluar negeri di bawah USD 500 tidak kena pajak tidak kena batasan. Ini kan harus kita tarik supaya tetap dipungut,” tandasnya.
Bukan sesuatu yang aneh saat ini: transaksi online di situs lokal, diikuti kedatangan barang dari luar negeri dengan gratis biaya kirim.
Mengutip kantor berita VOA, ternyata banyak pihak di Indonesia khawatir, produk dalam negeri tak mampu bersaing dengan skema ini. Hanya saja, suara-suara itu hanya terdengar lamat-lamat.
Yani, seorang ibu di Yogyakarta, pekan lalu menerima kiriman barang langsung dari China. Plastik pelindung telepon genggam itu dia beli seharga Rp 43 ribu saja, dengan biaya pengiriman digratiskan oleh penjual.
“Ini bukan yang pertama. Saya pernah membeli buku cerita berbahasa Inggris dan mainan di situs belanja online Indonesia, tapi barang juga langsung dari China, dan harganya lebih murah. Aneh ya,” ujarnya kepada VOA.
Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut model perdagangan seperti itu telah berlangsung beberapa tahun terakhir.
Platform jual beli online Indonesia, jika dirunut ke atas, pemasok modal utamanya adalah perusahaan dari China.
Akhirnya, platform ini menjadi etalase barang produksi mereka yang dipromosikan dengan harga murah.
“Plus ada promo gratis ongkos kirim. Bahkan pengusaha di China itu kalau mereka mengirim barang, misalkan menggunakan platform Ali Baba atau Tao Bao, biaya keluarnya ditanggung oleh pemerintah, ditanggung juga oleh grup perusahaan,” kata Bhima.
Dia memaparkan itu, dalam diskusi Integrasi Kebijakan dengan Strategi Digital: Langkah Tepat Pemulihan Ekonomi Nasional, Jumat (19/3).
Diskusi diselenggarakan oleh Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.Bhima menguraikan, selama pandemi COVID-19 transaksi perdagangan online dunia rata-rata naik 18 persen.
Sementara di Tanah Air, kenaikan itu sudah terlihat dari sebelum pandemi. Indonesia mencatatkan kenaikan 31 persen dan masuk dalam 10 negara dengan pertumbuhan paling tinggi di sektor ini dalam kurun Juli 2019-2020.
Kenaikan itu tentu berita baik, karena menjadi kesempatan besar bagi produsen Indonesia, utamanya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk ikut berebut kue.
Sayangnya, jika pemodal platform dirunut ke atas, akan ditemukan Tencent Group dan Ali Baba Group.
Kondisi inilah, yang membuat barang produksi China bisa dibeli dengan murah secara langsung oleh konsumen Indonesia.
Menurut Bhima, ada isu dumping dan predatory pricing dalam skema ini.Dumping adalah penjualan di luar negeri dengan harga murah dibandingkan harga dalam negeri, sedangkan predatory pricing merupakan praktik penjualan dengan harga murah dalam jangka waktu tertentu.
“Dia jual harga yang murah di pasar Indonesia, untuk mematikan pesaing, mematikan UMKM,” tambah Bhima.
Dia juga memaparkan, INDEF pernah melakukan riset menggunakan analisa big data dan memperoleh fakta, bahwa produk lokal hanya ada 26 persen di perdagangan online.
Angka itu juga bermakna: 74 persen barang yang dijual secara online adalah barang impor. Angka 26 persen itu adalah produk dari semua produsen, baik besar, menengah maupun kecil.
Karena itu bisa dibayangkan, bahwa produk UMKM prosentasenya jauh di bawah angka itu.Jika dibiarkan, kondisi ini akan mengakibatkan deindustrialisasi secara prematur.
“Yang akan jadi lebih besar kuenya adalah sektor-sektor jasa, sementara sektor yang sifatnya memproduksi barang, akan semakin kecil. Implikasinya, tentu kepada serapan tenaga kerja. Karena industrinya makin mengecil, serapan tenaga kerjanya makin sempit, makin berkurang,” papar Bhima.
Presiden Joko Widodo sendiri awal Maret lalu mengutarakan kekesalannya terhadap praktik predatory pricing ini
Presiden mengindikasikan, platform perdagangan online asing berbuat curang untuk mematikan UMKM dalam negeri.
Begitu kesalnya Jokowi, hingga keluar pernyataannya untuk membenci produk asing.Gerakan Bela-Beli Indonesia.
Pelaku UMKM tentu tidak diam saja melihat apa yang terjadi. Mereka bekerja sama dalam berbagai program, salah satunya adalah gerakan Bela Beli Indonesia.
Kampanye yang ditujukan agar konsumen memiliki keberpihakan pada produk dalam negeri, khususnya yang dibuat oleh UMKM di seluruh Indonesia.
Koordinator gerakan Masyarakat Bela Beli Indonesia Provinsi DI Yogyakarta, Untoro, mengakui tantangan produk China tidak ringan, terutama dari sisi harga dan ongkos kirim dalam pembelian online.
Secara kualitas dan harga, kata Untoro, produk Indonesia berani bersaing. Dalam kampanye Bela Beli Indonesia, penting ditekankan adanya manfaat tambahan dari membeli produk dalam negeri.
“Apa yang masyarakat bisa dapat selain harga dan kualitas. Ini yang menjadi satu materi edukasi yang harus disampaikan ke masyarakat. Harga tetap harus kompetitif, harus bersaing. Tetapi juga jangan lupa benefit apa yang ditawarkan teman-teman pelaku usaha ini, dengan produk maupun jasa yang dia tawarkan,” kata Untoro kepada VOA.
Karena itulah, gerakan Bela Beli Indonesia juga mengusung isu kesejahteraan tenaga kerja lokal, ketika produk UMKM diminati konsumen. Selain itu, banyak merek dalam negeri yang produknya lebih kreatif dan inovatif.
Untoro, yang bergerak dalam usaha fesyen, khususnya sepatu merek lokal, memastikan industri kreatif Indonesia secara umum maju dan mampu bersaing.
Namun harus diakui, UMKM memerlukan penguatan di sisi produksi, inovasi produk, dan harus melakukan transformasi digital dalam bisnisnya.
Produknya harus bisa dibeli melaui marketplace, dengan pengelolaan layanan pelanggan yang responsif dan mudah, serta rapi pengelolaan keuangannya.
Namun, di sisi lain, konsumen Indonesia juga membutuhkan perubahan pola pikir mengenai produk dalam negeri dan keberpihakan yang jelas.
Bagi mereka yang sudah teredukasi dengan baik, merek-merek lokal kini menjadi pilihan utama. Namun bagi sebagian konsumen yang belum memahami kualitas, mereka masih berburu merek ternama meski produk kelas dua atau yang biasa disebut KW.
“Isunya adalah keberpihakan, dan itu salah satu tugas Masyarakat Bela Beli Indonesia, bagaimana membela dan membeli produk lokal itu menjadi sebuah tema besar, yang harus disambut oleh masyarakat,” tambah Untoro.
Pemerintah memang sudah mengulurkan tangan, tetapi belum mampu menjadi jalan keluar nyata untuk melawan ekspansi produk China melalui marketplace.
Sejauh ini, bantuan pemerintah baru pada persoalan kemudahan pajak, fasilitas pemasaran, dan akses informasi.
Pemerintah maupun konsumen Indonesia, kata Untoro, perlu belajar dari Korea Selatan. Negara Ginseng tersebut sukses memasarkan merek-merek domestik yang dulu tidak terkenal dan terdengar – seperti yang terjadi pada industri otomotif – tetapi kini berhasil menguasai pasar dunia.
“Mungkin pertama kali, mereka harus berjuang, tertatih, membeli lebih mahal. Mungkin membeli dengan banyak tanda tanya barangnya berkualitas atau tidak. Tetapi masyarakat harus kita ajak. Kapan lagi martabat negeri ini secara ekonomi bangkit, kalau produk sendiri tidak dihargai,” tandas Untoro. [ns/ah]