Anak dari penjaga pintu kereta itu menjadi perbincangan di dunia hukum dan akademik pada umumnya.
Kenapa?
Lantaran dengan gagasan dan pandangannya tentang heuristika hukum, yang disebut selaras dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2021.
Menurutnya, Heuiristika hukum dijadikan sebagai pendekatan baru yang melengkapi teori-teori hukum yang telah ada. Pasalnya, kakim, hukum dan keadilan, ibarat tritunggal yang tak dapat dipisahkan.
“Saya mengawali karir sebagai hakim di pengadilan Negeri Kutacane 1984,” ujar pria yang kemudian mengemban jabatan di lingkungan pengadilan.
Pengalaman panjang itu membentuk pemahaman bahwa penegakan hukum sejatinya adalah seni dari perlakukan khusus dari aktor pelaksananya, yaitu hakim.
Kreasi dalam penegakan hukum menuntut padupadan yang selaras dan serasi dalam setiap elemen di dalamnya. Ketika seni menjadi perangkat kerja, khususnya bagi hakim untuk memberikan keadilan bijak.
Dalam praktik peradilan modern, Syarifuddin mencuatkan hal ini dimaksudkan untuk meminilmalkan disparitas dalam pemidanaan. Namun, tidak mengurangi kemandirian hakim.
“Ini merupakan pandangan pribadi saya terhadap pengalaman-pengalaman selama ini sebagai Hakim dan bukan mewakili pendapat resmi lembaga Mahkamah Agung,” ujar Prof Dr. HM Syarifuddin SH, MH.
Poinnya dalam upaya mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Guru Besar Tidak Tetap di bidang Ilmu hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini menyadari bahwa paparan implementasi dari pendekatan heuristika hukum itu akan menjadi kontroversi.
Pasalnya, Perma Nomor 1 Tahun 2020 adalah wujud dari seni menyelesaikan permasalahan disparitas putusan yang sekian lama belum teratasi.
Mengapa kemudian dengan Perma?
Karena proses legislasi di dewan memerlukan waktu lama sementara dalam praktik dibutuhkan kerangka normatif yang cepat dan operasional.
Suami dari Hajah Budiutami ini menyebut pembaruan sistem pemidanaan dalam praktek peradilan modern.
“Hukum tidak boleh hanya fokus pada kebutuhan saat ini,” ujar Ketua MA Syarifuddin.
Terobosan diperlukan dalam mengatasi kendala. Juga mampu menunjukan menjawab tantangan ke depan. “Dalam upaya mewujudkan ius constituendum (hukum yang dicitakan),” tutur ayah dari Roshyidatus Syarifaini dan Amirul Mufti ini.
Alumnus Universitas Islam Indonesia (S1), Universitas Juanda (S2) dan Universitas Katholik Parahyangan (S3) itu pun menyebut gagasan heuristika hukum sebagai sebuah pendekatan baru dalam memahami hukum, baik dalam formulasi (penormaan), penegakan, maupun pembaruan hukum.
HM Syarifuddin menyebut pendekatan barunya sebagai model heuristiska dalam memahami hukum. Dimana tujuan akhirnya adalah terwujudnya keadilan substantif.
Sebab, masih menurut Syarifuddin, untuk mewujudkan keadilan substantif adalah seni pemecahan masalah (law is an art of legal problem solving) .
“Kepada teman sejawat para hakim di seluruh Indonesia, janganlah hanya terpaku pada aturan normatifnya saja. Tetapi, haruslah berpikir secara holistik dan progresif, dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mewujudkan keadilan sejati,” ujar putra pasangan Damroh bin Karap dan Hj Aimah Binti Johir ini.
Pria kelahiran Baturaja 17 Oktober 1954 yang kini dikaruniai lima cucu itu komit untuk memberi mata kuliah Pembelajaran Praktik praktis Peradilan Modern.
“Junjunglah tinggi hak asasi manusia. Ketahuilah bahwa hukum itu adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum,” jelas Prof Dr H Muhammad Syarifuddin SH, MH mengingatkan.