Beritaenam.com | Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang mengatur pengetatan produk rokok menuai banyak kritik, terutama karena dianggap bisa memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di industri hasil tembakau (IHT). Beberapa pihak menilai aturan ini justru mengancam stabilitas ekonomi, terutama sektor tembakau yang melibatkan jutaan pekerja.
Willy Aditya, Anggota Komisi XI DPR, menyatakan bahwa kebijakan tersebut bukannya membuka lapangan kerja, tetapi justru mengancam hajat hidup banyak orang. “Kebijakan ini bukan mendukung ekonomi, malah memperburuk sektor usaha, terutama di IHT,” ujar Willy dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Parlementaria di Jakarta.
Menurut Willy, potensi PHK tidak terelakkan dengan adanya PP 28/2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek. Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini dibuat secara sepihak tanpa melibatkan berbagai pemangku kepentingan, yang akhirnya berdampak negatif pada industri.
Penurunan produksi rokok sebagai akibat penerapan kemasan polos diperkirakan akan signifikan. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu ekosistem bisnis kecil, seperti warung kelontong, yang sebagian besar pendapatannya bergantung pada penjualan rokok. “Industri pasti akan melakukan efisiensi, dan PHK massal adalah konsekuensi yang tak bisa dihindari,” tegas Willy.
Lebih lanjut, Willy menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek industri tembakau, yang berperan besar dalam perekonomian nasional. Ia juga mengkritisi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang tidak dilibatkan dalam pembahasan aturan tersebut, padahal sektor ini melibatkan sekitar 5,9 juta jiwa.
Kemenperin sendiri telah mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi PHK akibat pembatasan yang diatur dalam PP 28/2024, seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan pembatasan iklan. Kebijakan ini dinilai menciptakan stigma negatif terhadap industri kretek yang justru menyumbang banyak untuk ekonomi negara.
Selain itu, Gabungan Pengusaha Rokok Perusahaan Indonesia (GAPPRI) turut menyuarakan kritik terhadap aturan ini. Mereka menilai, industri tembakau telah bertahan selama pandemi tanpa PHK, tetapi regulasi baru ini justru mempersulit keberlangsungan sektor tersebut.
Willy mendesak pemerintah untuk segera mencari solusi yang saling menguntungkan semua pihak. “Kita perlu solusi triple win, yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga menciptakan ekosistem industri yang sehat dan berkelanjutan,” pungkasnya.